Oleh: Ichwan Arifin
Papua New Guinea (PNG) atau Papua Nugini, negeri di sebarang batas timur Indonesia. Wilayahnya berbagi pulau yang sama dengan Papua. Ibukotanya Port Moresby, diambil dari Captain John Moresby. komandan kapal HMS Basilisk Angkatan Laut Inggris yang berlayar ke wilayah ini pada 1873.
Independent State of Papua New Guinea, nama resminya. Merdeka dari Australia pada 16 September 1975. Namun, PNG tetap mempertahankan Raja atau Ratu Inggris sebagai kepala negara, yang diwakili oleh seorang Gubernur Jenderal. Namun perannya lebih bersifat simbolis. Kekuasaan eksekutif berada ditangan perdana menteri.
Sebagai negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia, akses ke PNG tidak mudah, terutama lewat jalur udara. Tidak ada penerbangan langsung menghubungkan kedua negara. Citilink pernah membuka rute Denpasar – Port Moresby. Namun tak bertahan lama, kemungkinan karena alasan komersial. Jalur yang tersedia mengharuskan transit di Singapura, Manila atau Brisbane.
Bandara utamanya, Jackson International Airport (JIA), diambil dari John F Jackson, pilot pesawat tempur Australia yang gugur dalam pertempuran melawan Jepang saat Perang Dunia II. PNG menjadi salah satu medan perang di Asia Pasifik, antara tentara sekutu, khususnya Australia dan Inggris melawan Jepang. JIA kecil dan “sederhana”, jauh dari kesan megah seperti Soekarno-Hatta. Diikutip dari Angkasa Pura II, Bandara Soetta melayani lebih dari 60 juta penumpang pertahun. Bandingkan dengan JIA, yang hanya melayani 2 juta penumpang pertahun.
Kekayaan Alam dan Kemiskinan
Port Moresby jauh dari citra kota metropolitan. Tidak ada kepadatan seperti kota-kota besar lainnya di dunia. Banyak area kosong, jalan-jalan utama juga sepi, minim penerangan jalan dan fasilitas publik yang terbatas. Pusat perbelanjaan hanya satu, dan jauh berbeda dari mal di Jakarta seperti Grand Indonesia, atau Plaza Senayan.
PNG juga bergulat dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Konflik bersenjata antar klan masih terjadi terutama di wilayah utara dan pegunungan. Penculikan untuk tebusan, baik terhadap warga asing atau lokal adalah resiko nyata.
Januari 2024, kerusuhan sosial pecah di Port Moresby dan kota lain seperti Lae. Toko dijarah, gedung dibakar. Aparat butuh beberapa hari untuk memulihkan keadaan. Kejahatan jalanan seperti pencopetan, penjambretan, hingga kekerasan terhadap perempuan juga tinggi.
Hidup di Port Moresby berarti hidup dibalik pagar tinggi dan gerbang yang selalu tertutup. Dari rumah tinggal, kantor, sekolah hingga rumah makan, semua dibangun dengan kesadaran; keamanan bukan hal yang dianggap remeh.
Keterbatasan infrastruktur menjadi tantangan tersendiri Menurut World Bank 2023, total panjang jalan raya di negara ini hanya sekitar 9.000 km, dan hanya 3.000 km yang beraspal. Sebagian besar wilayah tidak terhubung dengan jalur darat, hingga distribusi barang bergantung pada transportasi udara atau laut. Sebagian besar barang kebutuhan sehari-hari harus diimpor. Akibatnya harga barang mahal. Biaya hidup di Port Moresby jauh lebih mahal dibandingkan kota manapun di Indonesia.
Sebenarnya, negeri ini memiliki kekayaan alam luar biasa, dari migas, tambang dan hutan tropisnya yang luas. Secara teori, dengan penduduk hanya sekitar 10 juta jiwa, kekayaan ini seharusnya cukup untuk membuat rakyatnya sejahtera.
Namun, menjelang 50 tahun kemerdekaannya, PNG masih bergulat dengan kemiskinan. Menurut Human Right Measurement Inisitative (HMRI), sekitar 40% populasi hidup dalam kemiskinan. Namun, ada sekelompok kecil orang super kaya yang menguasai bisnis, sumber daya dan akses kekuasaan.
Menjaga Keindonesiaan
Sebagai orang Indonesia, saya tetap mengikuti perkembangan tanah air. Mencoba terhubung dengan semua hal yang berkaitan dengan Indonesia. Mengikuti berita dari Indonesia adalah rutinitas.
Pemilu 2024, saya ikuti dengan memberikan suara melalui TPS di KBRI. Tapi kita tahu, pemilu tidak selalu menjamin kesejahteraan rakyat. Demokrasi juga tidak otomatis membawa kemakmuran dan keadilan sosial. Rejim yang terpilih secara demokratis pun, tidak tergaransi akan secara demokratis pula menjalankan kekuasaannya.
Paul Collier dalam The Bottom Billion mengatakan, “Elections determine who is in power, but they do not determine how power is used”. Pemilu menentukan siapa yang berkuasa, tetapi tidak menjamin bagaimana kekuasan digunakan. Ini menjadi peringatan, bahwa tidak jarang para elite politik, setelah terpilih, lupa akan amanat rakyat yang memilih mereka.
Indonesia adalah negara besar dan memiliki sumberdaya alam melimpah. Namun kekayaan itu dapat membuahkan dua hal– anugerah atau kutukan bagi rakyatnya. Kuncinya ada pada para pemegang kekuasaan.
Dari jauh saya melihat Indonesia sedang gaduh. Bursa saham sempat anjlok, beberapa Perusahaan tutup, PHK terjadi, daya beli masyarakat menurun, dan nilai rupiah melemah. Target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo semakin berat untuk dicapai.
Sejarah mengajarkan, ketimpangan sosial dan ekonomi bisa jadi bom waktu. Mei 1998 bukan sekadar cerita lama. Jika suara rakyat direspon dengan arogansi, jika ketidakdilan terus dibiarkan, maka percikan kecil bisa berubah jadi kobaran api.
Disinilah pemerintah diuji. Menghadapi kritik dan aspirasi rakyat tidak bisa dengan pendekatan represif. Suara rakyat harus didengar dengan kepala dingin, bukan dilawan dengan sikap keras. Mereka yang berkuasa dipilih untuk melayani rakyat. Mereka juga telah diberikan keistimewaan dalam bentuk fasilitas maupun kewenangan, sebagai kompensasi dari jabatan-jabatan yang disandangnya.
Asa dan harapan rakyat harus dijaga. Ikhtiar perbaikan tanpa henti harus dilakukan. Semoga para pemimpin yang telah kita pilih, memiliki tekad dan kerendahan hati, mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Saat ini, bukan waktunya berjanji, namun memberi bukti!
***
Ichwan Arifin. Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Mantan Ketua GMNI Semarang. Penulis kolom, buku dan cerpen, diantaranya Meretas Jalan Demokrasi, Sketsa Pergerakan GMNI dan Darah Juang, Ode untuk Alexandra. Saat ini tinggal di Port Moresby, PNG.