Dalam kenangan panjang Prof. Arief Hidayat, sosok Bung Moegiono bukan hanya seorang senior di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), tetapi juga inspirasi tentang keberanian, kesetiaan pada ideologi, dan keunikan karakter yang sulit dilupakan. “Saya kenal Bang Moegiono sejak tahun 1975,” ujar Prof. Arief memulai kisahnya. Saat itu, ia baru masuk FH Undip dan mengikuti program Penerimaan Orientasi Studi Mahasiswa (POSMA).
Dalam suasana awal perkuliahan yang penuh orientasi dan ketegangan khas mahasiswa baru, Arief muda yang kala itu berambut panjang sebahu, sama seperti Bung Moegi, langsung menarik perhatian sang senior. Dengan gaya bercanda khas, Bung Moegi menyapa, “Kowe preman ya? Gabung sini saja!” Dari situlah awal keakraban mereka terjalin. Bung Moegi kemudian memintanya menjadi petugas jaga sepeda, duduk berdua dengan para senior FH lainnya.
Kedekatan itu berlanjut saat Arief mulai aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Ia bergabung sebagai kader muda GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), tempat Bung Moegi sudah dikenal sebagai salah satu tokoh utamanya. Bersama nama-nama seperti Yana Dewata, Gerson, Wiwik Wibowo, dan juga rekan dari fakultas lain seperti Bambang Pranoto dari Teknik, BB Wiryawan dari FISIP, serta Safrudin dari Ekonomi, mereka membentuk komunitas diskusi dan pergerakan mahasiswa yang solid dan ideologis.
Tak hanya di lingkungan intra kampus seperti senat mahasiswa, dewan mahasiswa, dan majelis permusyawaratan mahasiswa, pergaulan mereka juga akrab di lingkup ekstra kampus, seperti di Panti Marhaen, Semarang—markas spiritual dan ideologis para marhaenis muda saat itu.
Di mata Prof. Arief, Bung Moegi bukan hanya tokoh GMNI garis keras. Ia adalah “preman intelek” yang mengajarkan arti keberanian dan kesetiaan terhadap ajaran marhaenisme serta Pancasila. “Mas Moegi selalu memberikan contoh keberanian untuk tetap berada di garis marhaenisme yang berpihak pada rakyat tanpa pandang bulu,” kenang Prof. Arief.
Namun, keberanian Bung Moegi tidak menjadikannya sosok yang arogan atau anti-ilmu. Justru, ia berpadu kontras dengan sosok Yana Dewata—teman seperjuangan yang dikenal sebagai GMNI intelektual kampus. “Saya terinspirasi menggabungkan model keduanya: keberanian ala Moegi dan intelektualitas ala Yana,” ujar Prof. Arief, mencerminkan jalan yang kemudian ia tempuh dalam karier akademik dan kepemimpinan.
Salah satu kenangan lucu namun bermakna adalah saat Bung Moegi harus menghadapi ujian skripsi. Ironisnya, sang senior yang garang dan penuh percaya diri itu justru terlihat gugup ketika berhadapan dengan pembimbingnya—alm. Prof. Soedarto, tokoh besar hukum pidana Indonesia dan Rektor Undip kala itu. “Beliau sangat pemberani, tapi menghadapi Prof. Soedarto tampak takut dan sangat menghormatinya,” kisah Prof. Arief sambil tertawa. Saat itu, Prof. Arief yang lebih muda justru sudah lebih dulu lulus dan menjadi asisten dosen, bahkan mendampingi Bung Moegi saat ujian skripsinya.
Kisah itu menjadi ironi manis: sang “preman kampus” yang vokal dan tegas di gelanggang mahasiswa ternyata tetap menjunjung tinggi adab akademik. Di situlah terlihat dimensi lain dari Bung Moegi—sosok yang bukan hanya keras kepala dalam prinsip, tapi juga lembut hati dalam menghormati guru dan ilmu.
Ketika ditanya soal kenangan terakhir, Prof. Arief menjawab lirih, “Terakhir setelah Lebaran, saya menengok beliau di rumahnya di Tegalsari. Beliau sudah dijaga putrinya dan… sudah tidak ingat saya.” Jawaban itu disampaikan dengan kesedihan yang dalam. Sosok senior yang dulu begitu tegas dan membara kini menua dalam diam, membawa kenangan yang tinggal dalam ingatan sahabat-sahabatnya.
Kepergian Bung Moegi meninggalkan duka mendalam. Bagi Prof. Arief, kehilangan ini bukan hanya kehilangan seorang teman atau senior, tetapi juga kehilangan salah satu simbol keberanian dan idealisme mahasiswa era 70-an. “Saya sangat kehilangan seorang senior yang pemberani,” ucapnya.
Bung Moegiono, dalam ingatan Prof. Arief Hidayat, adalah simbol dari generasi mahasiswa yang tak hanya kritis dan aktif, tetapi juga memiliki keberanian moral untuk berpihak pada rakyat, serta kesetiaan pada ideologi marhaenisme dan nilai-nilai Pancasila. Ia adalah contoh langka dari “preman intelek” yang gigih, setia, namun tetap rendah hati.
Dalam era ketika keberanian sering tergerus kompromi, kisah Bung Moegiono menjadi pengingat bahwa idealisme sejati tak pernah mati—ia hanya tinggal dalam hati mereka yang berani mengenang dan melanjutkan.