Buku Darmo Gandul merupakan salah satu karya sastra Jawa yang penuh kontroversi, sekaligus kaya akan nilai sejarah, budaya, dan kepemimpinan. Karya ini ditulis dalam bentuk tembang macapat dan sering dijadikan rujukan dalam studi tentang transisi kekuasaan dari Kerajaan Majapahit menuju kesultanan Islam di Jawa. Meski dalam perkembangannya terdapat banyak perdebatan mengenai asal-usul dan isi naskahnya, Buku Darmo Gandul menyimpan pesan-pesan mendalam mengenai kearifan lokal dan cara kepemimpinan yang ideal dalam konteks budaya Jawa.
Konteks Sejarah dan Sastra Jawa
Karya ini muncul pada masa transisi yang penuh gejolak di mana masyarakat Jawa dihadapkan pada perubahan keyakinan serta dinamika politik yang kompleks. Buku Darmo Gandul dikemas dalam bentuk dialog antara seorang guru (Kiai Kalamwadi) dengan muridnya, yang memberikan narasi tentang runtuhnya Majapahit akibat serbuan dan perubahan sosial yang diwarnai oleh masuknya Islam. Meskipun terdapat elemen kontroversial—di mana naskah ini sering dianggap sebagai alat propaganda atau kritik terhadap kekuatan Islam pada masa itu—karya ini tetap mencerminkan cara pandang masyarakat Jawa yang kental dengan filosofi kejawen. Nilai estetika, kehalusan bahasa, dan kearifan lokal yang termuat dalam karya ini menunjukkan betapa sastra Jawa tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan penanaman nilai moral, etika, serta kepemimpinan.
Kepemimpinan dalam Perspektif Budaya Jawa
Dari sudut pandang kepemimpinan, Buku Darmo Gandul menawarkan refleksi yang sangat relevan dengan tradisi kepemimpinan di tanah Jawa. Dalam budaya Jawa, kepemimpinan seringkali diwarnai oleh konsep “tepo seliro” (merasakan perasaan orang lain) dan “eling lan waspada” (selalu mengingat dan waspada). Para pemimpin Jawa idealnya tidak hanya mengandalkan kekuatan militer atau politik semata, tetapi juga didasari oleh budi pekerti, kebijaksanaan, dan keselarasan dengan alam semesta.
Dalam narasi Darmo Gandul, terdapat gambaran tentang seorang raja yang harus menghadapi perpecahan internal dan tantangan eksternal. Kepemimpinan yang dipertanyakan di sini mencakup kekuatan untuk menjaga integritas budaya, merawat kesejahteraan rakyat, dan mempertahankan nilai-nilai leluhur. Dialog yang terjadi antara Kiai Kalamwadi dan muridnya sering kali memuat wejangan mengenai pentingnya pemimpin untuk memiliki kemampuan spiritual dan intelektual yang tinggi. Nilai-nilai ini sejalan dengan konsep kepemimpinan kejawen, di mana seorang pemimpin dianggap sebagai figur yang harus mampu menginspirasi, mendidik, dan menjaga keharmonisan dalam masyarakat.
Refleksi Nilai Budaya Jawa dalam Kepemimpinan
Budaya Jawa yang kaya akan filosofi dan kearifan lokal juga tercermin dalam pesan-pesan moral yang disampaikan melalui Buku Darmo Gandul. Dalam karya ini, terdapat kritik terhadap kepemimpinan yang hanya mengutamakan kekuasaan materi atau kepentingan pribadi. Pesan tersebut sangat relevan dengan ajaran kejawen yang menekankan pentingnya menjaga “rasa budi” dan “kebersamaan” di tengah dinamika politik yang seringkali membuat masyarakat terpecah belah. Seorang pemimpin yang sejati, menurut kearifan Jawa, adalah mereka yang mampu mendengarkan aspirasi rakyat, menghargai tradisi, dan menyelaraskan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum.
Kepemimpinan dalam tradisi Jawa juga tidak terlepas dari unsur spiritual. Seorang pemimpin ideal diharapkan dapat melihat “kebenaran” yang lebih dalam, melampaui sekadar tampilan lahiriah. Kearifan ini tercermin dalam konsep “kawula alit” di mana pemimpin harus peka terhadap kebutuhan rakyat kecil dan selalu berusaha menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab sosial. Buku Darmo Gandul, dengan segala kontroversinya, mengajak pembaca untuk merefleksikan bahwa kekuasaan yang benar tidak hanya diukur dari prestasi di medan perang atau stabilitas politik, melainkan juga dari sejauh mana pemimpin dapat menanamkan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh leluhur.
Relevansi Modern dan Pembelajaran Kepemimpinan
Meski ditulis pada masa lalu, nilai-nilai kepemimpinan dan budaya yang terkandung dalam Buku Darmo Gandul memiliki relevansi yang kuat bagi generasi masa kini. Di era modern, di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi, masyarakat Jawa—serta bangsa Indonesia secara umum—diingatkan untuk tidak melupakan akar budaya dan nilai-nilai kebijaksanaan yang telah teruji oleh waktu. Kepemimpinan yang berlandaskan kearifan lokal mampu memberikan solusi yang lebih manusiawi dalam menyelesaikan konflik sosial dan politik.
Selain itu, pesan tentang pentingnya integritas, kerendahan hati, dan kepekaan sosial sangat bermanfaat bagi para pemimpin di berbagai bidang. Konsep “tepo seliro” yang mengajarkan untuk selalu merasakan dan memahami kondisi serta perasaan orang lain adalah salah satu kunci keberhasilan dalam memimpin di lingkungan yang majemuk. Di sisi lain, nilai “eling lan waspada” mengajarkan pentingnya kesadaran diri dan kepekaan terhadap perubahan yang terjadi di sekitar, agar pemimpin dapat mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana.
Kesimpulan
Buku Darmo Gandul, meski sering diperdebatkan dan sarat dengan kontroversi, memberikan gambaran mendalam mengenai dinamika perubahan sosial, politik, dan budaya di tanah Jawa. Dari perspektif kepemimpinan, karya ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati haruslah memiliki integritas, kepekaan, dan kebijaksanaan yang berakar pada nilai-nilai kejawen. Dengan memahami dan menghayati ajaran yang terkandung dalam karya ini, generasi masa kini dapat belajar bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang mengumpulkan kekuasaan, melainkan juga tentang merawat dan mempertahankan warisan budaya serta menciptakan kesejahteraan bersama.
Melalui pembelajaran dari Buku Darmo Gandul, kita diingatkan untuk selalu menyeimbangkan antara aspek material dan spiritual dalam kepemimpinan, serta untuk tetap menghargai dan melestarikan kearifan lokal sebagai landasan dalam mengarungi arus perubahan zaman.