Oleh: Rifat Hakim, Aktivis GMNI, Mantan Ketua DPC GMNI Luwuk Banggai Sulawesi Tengah.
MARHAEN.ID : Kondisi internal Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) saat ini tengah diuji oleh situasi dualisme kepemimpinan. Di akar rumput, kami merasakan keresahan yang semakin mendalam resah melihat rumah ideologis ini menjadi panggung perebutan legalitas, bukan lagi ruang pengabdian dan perjuangan.
GMNI bukan sekadar organisasi, ia adalah warisan ideologis, tempat bertumbuhnya nalar kritis dan semangat kerakyatan. Maka ketika di tubuh DPP terjadi keterbelahan yang berkepanjangan, yang terjadi bukan sekadar konflik struktural, tapi perpecahan ruh gerakan.
Kami yang berada di bawah merindukan keteduhan dalam satu atap. Persatuan bukanlah utopia, melainkan syarat mutlak agar organisasi ini tetap hidup dan relevan. Kita tidak mungkin melangkah maju jika rumah kita terus gaduh dan tak tertata.
Dengan penuh rasa hormat untuk elti-elit di pusat tundukkanlah egomu, merendah diri, dan menata kembali GMNI sebagai rumah bersama, ingat kalian di atas karena ada yang di bawah. Kita perlu kembali mengingat untuk apa organisasi ini didirikan: bukan untuk kepentingan personal, bukan untuk adu pengaruh, tapi untuk memperjuangkan kaum marhaen, membumikan ajaran Bung Karno, dan menjawab tantangan zaman.
Kami hanya minta persatuan tidak ada yang lain. Tidak ada kongres kubu ini dan kubu itu, yang ada hanya Kongres Persatuan.
Kejayaan GMNI tidak akan lahir dari konflik tanpa ujung, melainkan dari semangat persaudaraan dan gotong royong serta kemampuan kita berdamai dalam ideologi. Kita butuh jiwa besar dari para elit di pusat, agar suara-suara dari bawah ini tidak terus menjadi jeritan dalam diam.
Marilah kita semua dari cabang hingga pusat membangun ulang kepercayaan, menata ulang rumah ideologis ini. Karena GMNI terlalu besar untuk dipecah, dan terlalu penting untuk ditinggalkan.
GMNI jaya, Marhaen Menang, Merdeka !!! (*)