Menu

Mode Gelap
Soft Launching Marhaen TV, Sabtu 26 Maret 2022 Mas Tok – Guntur Soekarno : Demokrasi Indonesia itu Demokrasi 50 plus 1 | Bincang Bareng Tokoh 001 GPM Maluku Utara Desak Pertanggungjawaban PLN atas Dugaan Kelalaian di Gane Barat Marhaenisme Bung Karno: Masih Relevan di Zaman Sekarang? Buku Darmo Gandul: Refleksi Kepemimpinan dan Budaya Jawa dalam Sejarah dan Kearifan Lokal

Berita · 22 Mar 2025 22:38 WIB ·

Dialog Nasional PA GMNI: Menegakkan Supremasi Sipil dengan Etika Bernegara Pancasila


					Dialog Nasional PA GMNI Perbesar

Dialog Nasional PA GMNI

MARHAEN.ID – Jakarta, 22 Maret 2025 – Defisit demokrasi yang semakin nyata mendorong Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) untuk mengingatkan para penyelenggara negara tentang pentingnya etika bernegara yang bersumber dari Pancasila. Dalam Dialog Nasional bertajuk “Etika Bernegara Pancasila” yang diselenggarakan di Sekretariat PA GMNI Jakarta, Sabtu (22/3/2025), para narasumber menekankan urgensi supremasi sipil dan peran etika dalam menjaga tatanan demokrasi.

Acara ini diselenggarakan dalam rangka menyambut Dies Natalis PA GMNI dan dihadiri oleh Ketua Umum PA GMNI Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., Ketua Dewan Kehormatan PA GMNI Siswono Yudo Husodo, serta jajaran pengurus PA GMNI. Adapun narasumber utama adalah Dr. Sukidi, Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, M.M.A.S., M.P.A. (Dubes RI untuk Filipina/Gubernur Lemhanas RI 2016-2022), serta Prof. Dr. Franz Magnis Suseno (Guru Besar Emeritus STF Driyarkara).

Dalam sambutannya, Prof. Arief Hidayat menegaskan bahwa etika bernegara Pancasila adalah seperangkat nilai yang mengatur tindakan pejabat negara dan pejabat publik dalam menjalankan tugasnya dengan keadilan, tanggung jawab sosial, dan transparansi. “Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Nilai-nilai etika ini lama-lama telah ditinggalkan, padahal Indonesia bukan sekadar negara hukum biasa, tetapi negara hukum yang berkeadilan dan berketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya.

Etika bernegara yang berbasis pada Pancasila menegaskan bahwa para pejabat publik memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kebijakan yang mereka buat selalu berpihak pada rakyat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Keberadaan hukum positif harus dikawal dengan rule of ethics, agar implementasinya tidak sekadar formalitas, tetapi benar-benar mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial.

Baca Juga :  GMNI Jaksel Serukan 'Potong Satu Generasi': Desak Pemakzulan Gibran dan Bersihkan Warisan Orde Baru

Pancasila Sebagai Bintang Penuntun

Dr. Sukidi menambahkan bahwa di saat republik mengalami krisis demokrasi, bangsa ini harus kembali kepada pemikiran para pendiri negara. “Bung Karno menyatakan Pancasila sebagai bintang penuntun dalam bersikap berbangsa dan bernegara. Pancasila harus menjadi sumber dari etika bernegara,” jelas doktor lulusan Harvard University itu. Ia juga menekankan perlunya memutus akar kejahatan bangsa, seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menggerogoti supremasi sipil.

Dalam konteks demokrasi, supremasi sipil menjadi salah satu pilar utama yang harus dijaga. Sayangnya, masih banyak praktik yang justru melemahkan posisi rakyat dalam sistem demokrasi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi penyakit yang merusak fondasi demokrasi dan merugikan rakyat. Oleh sebab itu, Sukidi menekankan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara transparan, adil, dan tidak tebang pilih.

Lebih jauh, ia menyoroti bagaimana elit politik cenderung lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan rakyat. “Rakyat sering kali hanya menjadi objek dalam permainan politik. Kebijakan yang diambil tidak lagi berdasarkan kepentingan bersama, tetapi lebih kepada bagaimana mempertahankan kekuasaan,” tambahnya. Oleh karena itu, etika bernegara harus ditegakkan untuk memastikan bahwa kebijakan publik selaras dengan kepentingan rakyat banyak.

Demokrasi yang Terkikis oleh Oligarki

Sementara itu, Prof. Franz Magnis Suseno menyoroti pembusukan demokrasi pascareformasi yang semakin nyata dengan dominasi oligarki. “Para politisi tidak lagi melayani rakyat, tetapi mencari kesempatan memperkaya diri. DPR pun lebih banyak dikuasai dinasti politik dan partai-partai yang kehilangan orientasi ideologis,” ungkapnya.

Baca Juga :  Dr. Ahmad Basarah: Sosok Nasionalis dan Pengawal Konstitusi di MPR-RI

Kondisi ini semakin diperparah dengan lemahnya oposisi dalam sistem politik Indonesia. Ketika oposisi lemah, mekanisme check and balances tidak berjalan dengan optimal, yang pada akhirnya berdampak pada berkurangnya kontrol terhadap penyelenggara negara. Menurut Franz Magnis, keadaan ini membuat praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan semakin sulit untuk dikoreksi.

Ia juga mengkritik kondisi parlemen yang lebih mengutamakan kepentingan individu dan kelompok tertentu dibandingkan dengan aspirasi rakyat. “Jika parlemen lebih banyak dikuasai oleh orang-orang kaya dan kelompok oligarki, bagaimana mungkin mereka akan memperjuangkan kepentingan rakyat kecil?” ujarnya.

Konstitusi sebagai Landasan Loyalitas

Dalam konteks ini, Letjen (Purn) Agus Widjojo menegaskan bahwa semua lembaga dan pejabat negara harus meletakkan loyalitasnya kepada konstitusi. “Jika presiden dihasilkan melalui pemilu yang konstitusional, maka ia adalah perpanjangan tangan konstitusi yang harus dipatuhi. Namun, jika presiden menyimpang, maka loyalitas harus dikembalikan kepada konstitusi,” tegasnya.

Menurut Agus Widjojo, supremasi konstitusi adalah hal yang tidak bisa ditawar. Tidak ada satu lembaga atau pejabat negara pun yang memiliki kekuasaan absolut. Oleh sebab itu, semua lembaga negara harus tunduk pada prinsip check and balances untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Baca Juga :  Palar Batubara: Pejuang Nasionalisme dari Orde Baru ke Orde Reformasi

Ia juga menyoroti pentingnya menjaga profesionalisme TNI dan Polri sebagai alat negara yang harus netral dan tidak boleh dipolitisasi. “Jika aparat keamanan dipolitisasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu, maka demokrasi kita akan semakin terancam,” tambahnya.

Membangun Masa Depan dengan Etika Bernegara

Sekretaris Jenderal DPP PA GMNI, Abdy Yuhana, menutup diskusi dengan mengingatkan bahwa tanpa etika bernegara Pancasila, bangsa ini akan berjalan di tempat. “Kemajuan suatu negara ditentukan oleh visi negara serta keteladanan penyelenggara negara dalam menaati konstitusi dan menjunjung tinggi moral serta etika kehidupan berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.

Dialog Nasional ini menjadi momentum penting dalam mengingatkan kembali bahwa supremasi sipil dan demokrasi yang sehat hanya dapat ditegakkan melalui etika bernegara yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Jika nilai-nilai ini terus diabaikan, maka bangsa ini akan menghadapi risiko semakin jauhnya demokrasi dari cita-cita reformasi.

Sebagai langkah konkret, PA GMNI berkomitmen untuk terus menyuarakan pentingnya etika bernegara dalam berbagai forum, baik di tingkat nasional maupun daerah. Mereka juga mendorong pemerintah untuk memperkuat pendidikan kewarganegaraan yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila agar generasi muda memiliki kesadaran politik yang lebih tinggi.

Dengan adanya diskusi ini, diharapkan bahwa para pemimpin bangsa, baik yang saat ini sedang berkuasa maupun generasi mendatang, dapat mengambil pelajaran berharga tentang bagaimana membangun Indonesia yang lebih demokratis, adil, dan berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.

Artikel ini telah dibaca 160 kali

Avatar photo badge-check

Penulis

Baca Lainnya

GMNI Terbelah-Belah, Tanggungjawab!!!

30 Juli 2025 - 19:54 WIB

Ahmad Yandi Khadafi: Hakim Tak Boleh Jadi Alat Kekuasaan, Wujudkan Asas Keadilan, Bebaskan Hasto!

25 Juli 2025 - 01:39 WIB

Babay Farid Ditetapkan Jadi Tersangka, Petisi Brawijaya Jakarta: Ini Moment Tepat Pramono Anung Bersih – Bersih Bank DKI

25 Juli 2025 - 00:51 WIB

Hadapi Perubahan Iklim di Desa, Akar Desa Indonesia Teken MoU dengan Kemendes PDT

23 Juli 2025 - 15:55 WIB

PA GMNI Teken MoU dengan PERADI Utama: 3.000 Kader Berpeluang Ikuti Beasiswa Pendidikan Profesi Advokat (PKPA)

20 Juli 2025 - 12:29 WIB

Revitalisasi Nilai Perjuangan Bung Karno dalam Membentuk Kader yang Berwatak Marhaenisme, DPC GMNI Kendari Gelar KTD

15 Juli 2025 - 20:03 WIB