MARHAEN.ID – Situbondo : Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Pertanian dan Teknologi Sains (FAPERTASAINSTEK) Universitas Abdurachman Saleh (UNARS) Situbondo secara resmi menyatakan sikap kritis terhadap upaya penulisan ulang sejarah yang dinilai mengabdi pada kekuasaan dan menjauh dari kebenaran rakyat.
Dengan mengangkat tema “Sejarah sebagai Alat Kekuasaan: Siapa yang Mengontrol Narasi, Mengontrol Ingatan Kolektif?”, GMNI menyoroti bahaya sejarah yang dipolitisasi sebagai alat pembenaran kekuasaan, serta menolak narasi tunggal yang mendominasi historiografi Indonesia.
“Sejarah tidak pernah netral. Ia ditulis oleh yang berkuasa, dan seringkali menghapus suara mereka yang tertindas. Jika kita membiarkan narasi sejarah dikuasai oleh elite, maka kita sedang membiarkan ingatan kolektif kita dibentuk oleh kebohongan,” tegas Hazriel, Ketua DPK GMNI FAPERTASAINSTEK UNARS Situbondo.
Lima Poin Pernyataan Sikap
Dalam rilis resminya, DPK GMNI FAPERTASAINSTEK UNARS Situbondo menegaskan lima poin sikap tentang penulisan kembali sejarah bangsa:
1. Menolak monopoli sejarah oleh negara atau elite tertentu yang menghapus peran rakyat dan kelompok marginal dari narasi besar bangsa.
2. Mengecam pengaburan pelanggaran HAM dan kekerasan negara, termasuk peristiwa 1965 dan Reformasi 1998, dari buku-buku dan kurikulum sejarah resmi.
3. Menuntut penulisan sejarah yang kritis, terbuka, dan berpihak pada kebenaran, berdasarkan suara korban dan fakta lapangan, bukan hanya dokumen negara.
4. Mendorong dekolonisasi historiografi nasional, dengan membongkar warisan narasi kolonial yang masih membentuk pola pikir institusional.
5. Mengajak mahasiswa dan akademisi untuk menjadi bagian dari gerakan melawan narasi dominan yang menindas dan membatasi pemahaman sejarah yang adil.
Ajak Mahasiswa Bangkit dan Membaca Ulang Sejarah Secara Kritis!
DPK GMNI FAPERTASAINSTEK UNARS Situbondo menegaskan bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab sejarah untuk tidak tunduk pada narasi kekuasaan yang menyesatkan. Sejarah harus menjadi alat pembebasan, bukan propaganda.
“Sebagai bagian dari gerakan nasionalis dan progresif, GMNI akan terus mendorong kajian kritis sejarah, membela suara yang dibungkam, dan melawan pelupaan yang disengaja oleh penguasa,” pungkas Hazriel. (Red)*