Menu

Mode Gelap
Soft Launching Marhaen TV, Sabtu 26 Maret 2022 Mas Tok – Guntur Soekarno : Demokrasi Indonesia itu Demokrasi 50 plus 1 | Bincang Bareng Tokoh 001 GPM Maluku Utara Desak Pertanggungjawaban PLN atas Dugaan Kelalaian di Gane Barat Marhaenisme Bung Karno: Masih Relevan di Zaman Sekarang? Buku Darmo Gandul: Refleksi Kepemimpinan dan Budaya Jawa dalam Sejarah dan Kearifan Lokal

Opini · 16 Mei 2025 13:25 WIB ·

Hak Rakyat Dalam Daerah Istimewa


					Hak Rakyat Dalam Daerah Istimewa Perbesar

oleh: Antonius Fokki Ardiyanto S.IP

Romantika, dinamika dan dialektika yang terjadi dalan konflik antara warga Kampung Tegal Lempuyangan yang menempati 14 rumah eks Belanda dengan PT KAI yang melibatkan pihak Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat selaku pemilik tanah telah membuka sebuah fakta bahwa posisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks hak rakyat yang hidup di daerah istimewa sangat lemah dan sangat bergantung kepada belas kasihan raja.

Rakyat yang karena sejarah sosial kehidupannya dan ketidaktahuannya telah menempati dan merawat tanah puluhan tahun bahkan mungkin sepanjang hidup keluarga tersebut secara turun temurun sering tidak mengetahui hal hal secara hukum berkaitan asal muasal tanah karena sejarah republik sebelum merdeka 17 Agustus 1945 sangat lama ditambah bahwa sebelum merdeka, daerah daerah yang sekarang bernama Republik Indonesia adalah daerah kerajaan dari sabang sampai merauke dan dijajah dari VOC sebelum menjadi Belanda, Inggris, Portugis dan Spanyol. Dari daerah daerah kerajaan yang masih bertahan secara administrasi politik dan diakui sebagai Daerah Istimewa karena perjuangan rakyat sebagai daerah kerajaan hanya Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat (dibentuk Belanda) dan Kadipaten Pakualaman (dibentuk Inggris) menjadi apa yang sekarang disebut Daerah Istimewa Yogyakarta DIY.

Baca Juga :  Marhaen, Cangkul, dan Aplikasi: Serakahnomic sebagai Penjajahan Gaya Baru

Peraturan hukum yang mengiringi perjalanan DIY sebagai daerah istimewa yang diawali dari Maklumat 5 September 1945 yaitu bergabung ke Republik Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 menjadi awal adanya peraturan hukum yang mengiringinya.

Ada dinamika dialektika romantika yang mengiringi hubungan bergabungnya DIY ke dalam NKRI dan yang terbaru adalah adanya UU Keistimewaan DIY tahun 2012 sebagai akibat *pergerakan rakyat karena ada nuansa waktu itu gubernur dan wakil gubernur dipilih rakyat yang tentu saja akan menghapus keistimewaan.*

Sebagai akibat dari adanya UU Keistimewaan tersebut maka Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman mendapat pengakuan khusus salah satunya *hal hak kepemilikan dan pengelolaan tanah* Salah satu kebebasan dalam hal hak kepemilikan tanah adalah tentang basis peta yang akan digunakan untuk secara hukum mengatakan ini tanah kraton dalem. Persoalan ini sering berbenturan ketika kraton sebagai pemilik tanah memberikan hak kepada mereka yang selama ini tidak memanfaatkan tanah tersebut, sehingga rakyat/kawulo dalem yang selama ini merawat dan menggunakan tanah tersebut pasti akan diabaikan hak haknya baik sebagai warga negara Republik Indonesia atau sebagai kawulo dalem Nagari Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.

Baca Juga :  Etika Bernegara Pancasila: Tantangan dan Solusi

Sebagai warga negara Republik Indonesia, rakyat punya dasar di dalam hak hak berbangsa dan bernegara karena tanpa rakyat maka negara tidak ada yaitu UUD 1945. Tetapi sebagai Kawulo Dalem dimana UU negara dalam persoalan tanah yaitu UUPA 1960 karena prinsip lex spesialist (perlu diuji dinyatakan tidak berlaku), apa yang menjamin hak rakyat tersebut selain *belas kasian kraton (istilah bebungah).* Bahkan dalam UU Keistimewaan dan turunannya yaitu perdais tentang tanah bahkan pergub tentang pemanfaatan tanah sultanat dan pakualaman tidak ada pasal yang mengatur tentang jaminan hak hak rakyat yang menempati merawat dan menduduki tanah tersebut karena berbagai faktor apabila tanah tersebut akan diberikan kepada pihak lain (ketiga) oleh kraton yang selama ini tidak menempati, merawat dan menduduki tanah tersebut.

Baca Juga :  Jan Prince Permata: Kiprah di Masyarakat dan Peran sebagai Alumni GMNI

Inilah kekosongan hukum yang harus bisa segera diselesaikan supaya konflik konflik agraria termasuk bangunan diatasnya tidak menjadi konflik sosial politik terbuka antara rakyat, kraton dan pihak ketiga. Serta yang paling penting tidak terjadi proses *pemiskinan rakyat* yang tidak sesuai dengan tujuan kita merdeka yaitu salah satunya *memajukan kesejahteraan umum.*

Tanah Gayam
Antonius Fokki Ardiyanto S.IP

Artikel ini telah dibaca 35 kali

Avatar photo badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Marhaen, Cangkul, dan Aplikasi: Serakahnomic sebagai Penjajahan Gaya Baru

23 Juli 2025 - 21:05 WIB

Menjemput Trisakti di Persimpangan Zaman: Risalah Reflektif dari Pertemuan Komantikor

22 Mei 2025 - 10:46 WIB

MERDEKA MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM SENDIRI

10 Mei 2025 - 18:55 WIB

Wawancara Imajiner dengan Bung Karno: Mengenang Murdaya Widyawimarta Po, Pejuang Kewarganegaraan

13 April 2025 - 13:59 WIB

Indonesia dalam Politik Global: Tantangan dan Arah Kebijakan ke Depan

3 April 2025 - 21:46 WIB

Menapak Jejak Soekarno, Menyongsong Gagasan Prabowo: Harapan Baru untuk Indonesia

3 April 2025 - 17:18 WIB