Oleh : Aditya Nugraha, Ketua DPC GMNI Bangka Belitung.
MARHAEN.ID : Dikutip dari buku Sejarah Perkembangan Kepolisian Indonesia, terdapat perbedaan tugas antara Polri dan TNI. Tentara bertugas mengamankan negara dari ancaman musuh dengan kekerasan, sedangkan polisi mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban dan rasa aman serta tidak mengesampingkan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada 1 April 1999, Presiden B. J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian dari ABRI. Sejak diterbitkannya instruksi tersebut, Polri yang tadinya di bawah Mabes ABRI ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).
Setelah resmi berpisah dengan TNI, Polri menambah jumlah personelnya sebelum Pemilu 1999. Dalam catatan Tempo, penambahan personel sebanyak 70 ribu orang. Setelah Pemilu 1999 usai, Habibie tidak lagi jadi presiden, tetapi proses pemisahan Polri dari TNI dilanjutkan oleh presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid. Pasca reformasi, tugas pokok Polri, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Beragam bentuk kekerasan yang dilakukan instasi Polri mulai dari intimidasi, kekerasan fisik maupun verbal, hingga pembunuhan yang dilakukan diluar hukum banyak terjadi setiap tahunnya. Terangkum dalam data Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) selama satu tahun sepanjang Juni 2024 – Juli 2025 total ada 602 kasus kekerasan yang dilakukan oleh Polri, mulai dari 7 Kekerasan Seksual, 9 Kriminalisai, 24 Intimidasi, 4 Tindakan tidak manusiawi, 42 Pembubaran paksa, 72 Penangkapan sewenang-wenang, 81 Penganiayaan, 38 Penyiksaan dan 411 Penembakan yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tak luput dari beragam tindak represifitas aparat yang terjadi mulai dari penangkapan nelayan pesisir pantai Batu Perahu dalam aksi penolakan PIP (Ponton Isap Produksi) dan KIP (Kapal Isap Produksi), penangkapan warga Kecamatan Membalong dalam aksi protes yang dipicu perusahaan PT.Foresta yang terindikasi melakukan penanaman sawit di luar HGU (Hak Guna Usaha) dan intimidasi yang dialami masyarakat nelayan Desa Batu Beriga. Beragam tindak represifitas aparat tak hanya menimpa masyarakat adat dan pejuang lingkungan, salah seorang jurnalis AJI mendapat intimidasi dan upaya penghalangan tugas jurnalistik yang dilakukan oleh Kepala Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Kepolisian Resor (Polres) Bangka Barat.
Berbagai pungutan liar bahkan suap terjadi dalam tubuh instansi kepolisian, dalam beberapa kasus pungutan liar mulai dari kepolisian Satlantas yang memungut “Uang Damai” kepada para pelaku pelanggar lalu lintas hingga kasus suap yang hadir dalam setiap pertambangan illegal di Bangka Belitung tak luput dari bekingan para oknum kepolisian.
Sejauh ini pengawasan dari berbagai institusi terhadap kinerja Polri tidak berjalan efektif, terbukti dengan beragam peristiwa kekerasan dan intimidasi yang masih terjadi. Fakta konkrit bahwa polri salah satu penegak hukum yang kebal akan hukum itu sendiri, contohya tragedi kanjuruhan dimana polisi menggunakan alat keamanan tidak sesuai prosedur hingga banyak menimpa korban jiwa tetapi tak pernah tuntas diselidiki oleh pihak kepolisian maupun pimpinan daerah. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa oknum kepolisian sulit terjerat hukuman bahkan terkesan kebal hukum.
Disaat setiap instansi mengalami pemangkasan anggaran yang berdampak pada kinerja yang tidak maksimal, justru instansi polri melakukan pemborosan anggaran dalam pengadaan robot polisi dan pembuatan kanal policetube berupa situs yang berisikan beragam aktivitas kepolisian guna membangun citra yang baik lewat media online sedangkan berbanding terbalik dengan fakta dilapangan.
Pada dasarnya polisi merupakan masyarakat sipil yang dipersenjatai tanpa Pendidikan moral kemanusiaan yang mendalam, hingga dalam setiap aktivitasnya terkesan arogan dan bertindak sewenang-wenang bahkan melanggar Hak Asasi Manusia. Maka dari itu dengan berbagai polemik yang hadir dalam tubuh instansi kepolisian. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bangka Belitumg menuntut reformasi Polri yang seutuhnya, dengan beberapa poin tuntutan berupa:
1. Menolak RUU Polri yang memuat sejumlah pasal bermasalah dengan substansi perluasan kewenangan kepolisian hingga menjadikannya institusi “Superbody”.
2. Mengusut tuntas seluruh pelaku tindak pidana yang ada di dalam instansi kepolisian.
3. Menegakkan independensi instansi kepolisian untuk tidak menerima beragam intervensi dari kelompok elit politik.
4. Hentikan berbagai kekerasan dan intimidasi aparat kepolisian terhadap massa aksi dan masyarakat sipil.
Hari ini, saat institusi itu merayakan dirinya sendiri, kami dengan lantang mengatakan: Tidak ada perayaan atas kekerasan. Tidak ada hormat untuk pelanggar HAM. Tidak ada selebrasi untuk represi yang dibungkus wibawa. Yang ada hanya perlawanan. Dan ingatan yang tak akan padam.
Selamat HUT Bhayangkara ke-79. Selamat hari jadi untuk institusi yang memiliki impunitas atas segala kejahatan yang selalu dilegalkan. (*)