Di sudut ruang keluarga, seorang anak muda tertidur dengan buku “Dibawah Bendera Revolusi” di dadanya. Matanya yang lelah tertutup, napasnya tenang. Tiba-tiba, dalam alam mimpi, ia mendapati dirinya berdiri di sebuah ruangan luas dengan pilar-pilar kokoh. Di depannya, berdiri seorang lelaki dengan sorot mata tajam dan penuh wibawa. Berpakaian khas: peci hitam, jas putih, dan semangat yang menyala di dalam dirinya.
“Kau siapa, Nak?” tanya lelaki itu dengan suara berat namun penuh kehangatan.
Anak muda itu tertegun. “Saya… saya hanya seorang anak muda biasa, Pak. Tapi… siapa Anda? Sepertinya saya mengenali wajah Anda.”
Lelaki itu tersenyum. “Kau membaca bukuku dan masih bertanya siapa aku? Aku Sukarno.”
Anak muda itu menahan napas. Sukarno? Presiden pertama Indonesia? Pemimpin revolusi? Ia menggeleng, memastikan bahwa ini semua bukan halusinasi.
“Apa yang ada di kepalamu saat ini, Nak?” tanya Sukarno sambil berjalan mendekat.
“Saya… bingung, Pak. Indonesia saat ini… terasa jauh dari yang Bapak perjuangkan. Media sosial penuh dengan kebencian. Orang-orang saling menghina hanya karena perbedaan pendapat. Ada yang merusak tempat makan dengan alasan bulan puasa. Agama seolah menjadi alasan untuk berbuat anarkis. Bukankah Indonesia yang Bapak impikan adalah negara yang toleran?” suaranya gemetar, ada keresahan yang telah lama ia pendam.
Sukarno menarik napas panjang. Matanya menerawang jauh, seolah melihat sejarah yang panjang dan penuh perjuangan. “Nak, aku dulu bermimpi tentang Indonesia yang bersatu, yang rakyatnya hidup dalam harmoni meskipun berbeda suku, agama, dan budaya. Tapi kini, apa yang kau ceritakan padaku ini…” Sukarno menghela napas, “terasa seperti mimpi buruk.”
Anak muda itu menunduk. “Apa yang salah, Pak? Kenapa kita bisa seperti ini?”
“Kita kehilangan semangat gotong royong. Kita lebih senang mencari kesalahan orang lain daripada bekerja bersama membangun negeri. Dan tentang agama…” Sukarno menatapnya lekat. “Nak, Islam di negeri ini adalah Islam yang khas, bukan Islam yang meniru budaya negeri Arab. Aku pernah berkata: kalau Islam, jangan jadi orang Arab! Kenapa? Karena kita punya akar, punya budaya sendiri, punya cara beragama yang lebih bersahaja. Islam di Indonesia itu penuh dengan kehangatan, bukan amarah. Islam di Indonesia itu Rahmatan lil Alamin, bukan alat untuk memecah belah.”
Anak muda itu mengangguk pelan. “Tapi sekarang, banyak yang merasa paling benar, Pak. Mereka menghakimi orang lain hanya karena berbeda cara dalam beribadah atau berpikir.”
“Itulah masalahnya, Nak. Beragama tanpa kebijaksanaan hanya akan menumbuhkan fanatisme buta. Dulu, aku ingin Indonesia menjadi rumah bagi semua. Bukan hanya untuk Muslim, tapi juga untuk yang beragama lain. Aku percaya pada toleransi, karena tanpa itu, negeri ini akan hancur berantakan. Aku sedih melihat intoleransi menguat, melihat sesama anak bangsa saling membenci.”
Anak muda itu menunduk. “Apa yang harus kita lakukan, Pak? Rasanya sulit mengubah keadaan.”
Sukarno tersenyum tipis. “Nak, revolusi tidak pernah mudah. Tapi kau masih muda. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam pesimisme. Kau punya suara, kau punya pikiran. Gunakan itu. Bicara dengan orang-orang di sekitarmu. Tanamkan kembali nilai-nilai Pancasila. Ingatkan orang-orang bahwa kita ini satu bangsa, satu tanah air. Jangan biarkan kebencian menguasai negeri ini.”
Anak muda itu mengangkat wajahnya. Ada semangat yang perlahan muncul di matanya. “Saya mengerti, Pak. Saya akan berusaha.”
Sukarno menepuk pundaknya. “Bagus! Ingat, Nak, Indonesia ini besar. Jangan biarkan ia hancur oleh kebencian. Dan satu lagi…”
“Apa itu, Pak?”
Sukarno tersenyum lebar. “Bangunlah. Kau masih punya banyak tugas yang harus kau selesaikan.”
Anak muda itu terperanjat. Seketika, ia membuka matanya. Ia kembali berada di sudut ruang keluarga. Buku “Dibawah Bendera Revolusi” masih tergeletak di dadanya. Ia menarik napas panjang. Mimpi itu… terasa begitu nyata. Kata-kata Sukarno masih bergema di telinganya.
Ia bangkit, menggenggam buku itu erat. Hari ini, ia tahu apa yang harus ia lakukan.