Malam itu, langit bersih. Bulan separuh menggantung di atas, ditemani bintang-bintang kecil yang bersinar malu-malu. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan sore tadi. Di teras rumah tua dengan dinding kayu yang mulai mengelupas, seorang lelaki tua duduk bersandar di kursi bambu. Di tangannya, sebatang rokok kretek mengepul, sesekali dihisap pelan sebelum dihembuskan bersama kenangan panjang yang melintas di benaknya.
Di sebelahnya, seorang pria paruh baya duduk dengan santai. Rambutnya sudah mulai memutih di beberapa bagian, meski tubuhnya masih tegap. Ia menuangkan kopi dari termos ke cangkir kecil, lalu menyerahkannya kepada si kakek sebelum mengambil satu untuk dirinya sendiri.
“Apa kabar, Kek? Sehat?” tanya pria itu sambil meniup uap panas dari kopinya.
Kakek itu tersenyum tipis. “Alhamdulillah, masih bisa ngopi, masih bisa ngerokok,” jawabnya santai.
Mereka baru saja berbuka puasa bersama di dalam rumah. Istri lelaki paruh baya itu—menantu si kakek—masih sibuk di dapur merapikan piring-piring. Di luar, suasana kampung mulai sepi. Hanya suara jangkrik dan sesekali suara sepeda motor yang melintas di jalanan kecil depan rumah.
“Zaman sekarang aneh ya, Kek,” lelaki itu memulai percakapan. “Anak-anak muda pada ogah jadi petani. Semua pengennya kerja di pabrik, di kantor, yang gajinya jelas tiap bulan.”
Kakek itu tertawa kecil. “Ya wajar. Siapa yang mau kerja capek-capek di sawah kalau hasilnya nggak seberapa?” katanya, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. “Dulu, waktu kakek masih muda, petani itu memang nggak kaya, tapi masih bisa hidup. Sekarang? Banyak yang punya sawah, tapi nggak bisa makan dari sawahnya sendiri.”
Lelaki itu mengangguk, matanya menatap gelas kopinya yang hitam pekat. “Tanah makin sempit, pupuk mahal, harga gabah ditekan terus. Nggak heran kalau orang lebih milih jadi buruh pabrik. Setidaknya, tiap bulan ada gaji yang pasti,” gumamnya.
Kakek tersenyum miris. “Makanya, Bung Karno dulu nggak cuma ngomongin buruh, tapi juga Marhaen,” katanya pelan. “Kamu tahu Marhaen?”
Pria itu mengangguk. “Petani kecil yang punya lahan sendiri, punya alat produksi sendiri, tapi tetap miskin karena sistem yang nggak berpihak padanya.”
Kakek tersenyum puas. “Betul. Dulu, waktu kakek masih muda, kakek sering dengar cerita dari bapak tentang Bung Karno. Katanya, waktu Bung Karno masih muda, dia ketemu seorang petani di Bandung yang punya sepetak sawah, punya cangkul sendiri, tapi tetap hidup miskin. Dari situ Bung Karno sadar, musuh kita bukan cuma penjajah, tapi juga sistem kapitalis yang bikin rakyat kecil terus menerus miskin.”
Pria itu menghela napas. “Kalau Bung Karno masih hidup, mungkin beliau bakal nangis lihat Indonesia sekarang, Kek. Petani makin tersingkir, tanah-tanah subur berubah jadi pabrik dan perumahan. Sawah yang ada pun dikuasai korporasi.”
Kakek tertawa getir. “Iya, mungkin Bung Karno bakal sedih. Tapi kakek rasa beliau juga bakal marah,” katanya sambil mengetuk abu rokok ke asbak. “Marhaen itu simbol kemandirian, simbol perlawanan rakyat kecil. Tapi sekarang, jangankan jadi Marhaen, petani kecil aja udah hampir punah.”
Mereka berdua terdiam sejenak. Malam semakin larut, suara jangkrik makin nyaring.
“Kakek dulu petani ya?” tanya pria itu, memecah keheningan.
Kakek mengangguk. “Iya, dulu kakek punya sawah setengah hektar. Warisan dari orang tua. Tapi sekarang udah dijual.”
“Kenapa dijual?”
Kakek menghela napas panjang. “Karena nggak ada yang nerusin. Anak-anak kakek, termasuk bapakmu, lebih milih kerja di kota. Sawah itu akhirnya dijual buat biaya sekolah cucu-cucu kakek.”
Pria itu terdiam. Ia tahu, ia sendiri adalah salah satu cucu yang dimaksud.
“Kamu dulu juga sekolah pakai uang dari sawah itu,” tambah kakek sambil tersenyum kecil.
Pria itu mengangguk pelan. “Iya, Kek. Tapi aku nggak jadi petani. Aku malah kerja di kantor, di kota.”
Kakek tertawa. “Nggak apa-apa. Kakek nggak nyalahin siapa-siapa. Yang salah itu sistemnya. Kenapa buruh pabrik bisa hidup lebih layak dibanding petani? Kenapa jadi petani malah jadi profesi yang orang-orang tinggalkan?”
Pria itu tak menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk kopinya yang sudah mulai dingin.
“Kakek masih ingat, dulu ada koperasi tani, ada lumbung desa, ada subsidi pupuk yang bener-bener nyampe ke petani. Sekarang? Semua udah nggak jelas. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”
“Kek, kalau kita mau menghidupkan petani kecil lagi, gimana caranya?”
Kakek menghela napas panjang. “Sulit. Tapi bukan nggak mungkin. Harus ada perubahan dari atas dan dari bawah. Pemerintah harus berpihak ke petani kecil, bukan cuma ke pengusaha besar. Dan yang paling penting, harus ada generasi muda yang mau turun ke sawah lagi.”
Pria itu terdiam. Ia tahu, generasinya sendiri lebih memilih bekerja di kota daripada bertani. Anak-anaknya pun sama.
“Kamu masih ingat cerita bapakmu dulu?” tanya kakek tiba-tiba.
“Yang mana?”
“Waktu bapakmu kecil, dia sering bantu kakek di sawah. Tapi waktu dia mulai besar, dia bilang, ‘Pak, aku nggak mau jadi petani, aku mau sekolah tinggi biar bisa kerja di kantor.’ Waktu itu, kakek cuma ketawa dan bilang, ‘Ya sudah, sekolah yang tinggi. Tapi jangan lupakan sawah ini. Karena tanah ini yang bikin kamu bisa sekolah.'”
Pria itu tersenyum kecil. “Bapak akhirnya kerja di kota, ya?”
Kakek mengangguk. “Iya. Dan kakek nggak nyalahin dia. Tapi kalau semua orang ninggalin sawah, siapa yang bakal tanam padi?”
Suasana hening sejenak. Angin malam berembus pelan, menggoyangkan daun-daun pisang di belakang rumah.
“Kita butuh lebih dari sekadar petani, Kek,” gumam pria itu. “Kita butuh orang-orang yang mau memperjuangkan petani.”
Kakek tersenyum. “Benar. Dan kita butuh orang-orang yang nggak malu untuk bertani.”
Pria itu menatap langit malam. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Mungkin, suatu saat nanti, ia akan kembali ke kampung ini. Bukan sebagai pegawai kantoran, tapi sebagai seseorang yang kembali menjejakkan kaki di tanah. Seperti dulu, seperti kakeknya.
Malam semakin larut. Kopi di gelas mereka sudah hampir habis. Rokok kakek pun tinggal separuh.
“Besok sahur di sini aja ya?” tanya kakek.
Pria itu tersenyum. “Iya, Kek. Aku sahur di sini.”
Dan malam pun terus berjalan, membawa obrolan mereka dalam dinginnya angin kampung yang syahdu.