Menu

Mode Gelap
Soft Launching Marhaen TV, Sabtu 26 Maret 2022 Mas Tok – Guntur Soekarno : Demokrasi Indonesia itu Demokrasi 50 plus 1 | Bincang Bareng Tokoh 001 GPM Maluku Utara Desak Pertanggungjawaban PLN atas Dugaan Kelalaian di Gane Barat Marhaenisme Bung Karno: Masih Relevan di Zaman Sekarang? Buku Darmo Gandul: Refleksi Kepemimpinan dan Budaya Jawa dalam Sejarah dan Kearifan Lokal

Opini · 23 Jul 2025 21:05 WIB ·

Marhaen, Cangkul, dan Aplikasi: Serakahnomic sebagai Penjajahan Gaya Baru


					Marhaen, Cangkul, dan Aplikasi: Serakahnomic sebagai Penjajahan Gaya Baru Perbesar

Di tengah gelombang digitalisasi dan kemajuan teknologi, kita sering lupa bahwa wajah penjajahan telah berubah rupa. Tidak lagi hadir dengan seragam kolonial dan senapan laras panjang, tapi dengan jas rapi, dasi mahal, dan aplikasi yang tinggal di ponsel pintar rakyat kecil. Penjajahan baru ini tidak dilakukan oleh bangsa asing dengan bendera asing, tetapi oleh anak bangsa sendiri yang menjadi bagian dari sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dan seperti yang telah diingatkan oleh Bung Karno, inilah bentuk penjajahan yang paling kejam: ketika bangsa sendiri menjajah bangsanya sendiri.

Dalam konteks inilah kita bisa memahami istilah yang baru-baru ini dilontarkan oleh Presiden Prabowo Subianto, yaitu “serakahnomic”. Sebuah sindiran keras terhadap elite ekonomi rakus yang menggunakan kekuasaan, teknologi, dan akses pasar untuk menghisap keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat kecil. Bukan hanya di bidang pangan, tapi juga logistik, layanan digital, distribusi bahan pokok, hingga pinjaman online dan perdagangan daring.

Istilah “serakahnomic” memang tidak berasal dari literatur akademik. Tapi justru di situlah kekuatannya. Ia adalah istilah yang lahir dari empati seorang pemimpin terhadap penderitaan rakyat, sekaligus perlawanan terhadap gaya ekonomi predator yang menghancurkan keadilan sosial. Maka tidak berlebihan jika kita menyebut bahwa “serakahnomic” adalah bentuk baru dari kapitalisme kolonial, namun dengan wajah Indonesia.”

Marhaen: Dari Cangkul ke Aplikasi

Ketika Bung Karno memperkenalkan istilah “Marhaen”, ia merujuk pada seorang petani kecil yang ditemuinya di Bandung Selatan. Petani itu memiliki tanah, memiliki cangkul, tetapi hidupnya tetap susah. Ia bukan proletar dalam pengertian Karl Marx, karena ia memiliki alat produksi sendiri. Namun sistem ekonomi yang timpang membuatnya tidak bisa berdaulat atas hidupnya sendiri. Ia bekerja, tapi tak pernah sejahtera. Ia berkeringat, tapi hasilnya selalu jatuh ke tangan orang lain.

Baca Juga :  Perjudian: Antara Perlindungan Aparat, Judi Online yang Merajalela, dan Wacana Legalisasi

Kini, tujuh dekade setelah pertemuan itu, Marhaen telah berganti wajah. Ia tidak lagi sekadar petani dengan cangkul dan sepetak sawah. Marhaen zaman sekarang bisa jadi:

  • Tukang ojek online yang mencicil motor dan setor komisi ke aplikasi asing,
  • Penjual makanan rumahan yang harus patuh pada algoritma platform pesan-antar,
  • Petani digital yang menjual hasil panen lewat e-commerce tapi tergantung pada review dan rating,
  • Konten kreator desa yang menggantungkan harapan pada platform video untuk monetisasi yang tak pasti.

Ya, Marhaen hari ini punya alat produksi: motor, HP, jaringan internet, akun Shopee, akun GoFood, QRIS, dan ringlight. Tapi seperti dulu, ia tetap tidak berdaulat. Ia tetap tidak menentukan nasibnya sendiri. Ia masih terjajah. Bukan oleh senjata, tapi oleh sistem dan aplikasi.

Serakahnomic: Komprador Digital dan Vampir Ekonomi

Dalam pidatonya, Prabowo menyebut bahwa ada pihak-pihak di dalam negeri yang menjadi “vampir ekonomi” — mereka yang mencampur beras, mengurangi takaran minyak, memanipulasi harga pasar, dan bahkan merusak kepercayaan publik demi keuntungan pribadi. Ia menyebut mereka menganut mazhab “serakahnomic” – bukan liberalisme, bukan sosialisme, bukan ekonomi Pancasila – tapi murni ekonomi keserakahan.

Mereka bukan sekadar pengusaha. Mereka adalah komprador baru dalam dunia digital. Dulu komprador menjual rempah untuk VOC, sekarang mereka menjual data rakyat, perilaku konsumsi, dan akses terhadap kebutuhan pokok kepada algoritma dan sistem rating yang tidak transparan.

Mereka menjajah dengan:

  • Algoritma yang hanya menguntungkan merchant besar,
  • Potongan komisi tinggi pada penjual kecil,
  • Pinjaman berbunga tinggi tanpa perlindungan hukum,
  • Dominasi distribusi pangan lewat kartel dagang.
Baca Juga :  Kaum Marhaenis, Saatnya Bergerak! Memuliakan Desa, Membangun Indonesia dari Akar

Dan parahnya, mereka adalah bagian dari bangsa sendiri. Merekalah yang disebut Bung Karno sebagai penjajah domestik: pribumi yang menjajah bangsanya sendiri.

Bung Karno dan Prabowo: Dua Generasi, Satu Semangat

Sekilas, Prabowo dan Bung Karno tampak berbeda. Satu lahir dari dunia militer dan pengalaman kontemporer, satu lagi pemikir revolusioner yang menumbangkan kolonialisme. Tapi di balik perbedaan itu, keduanya bertemu pada semangat: melawan penghisapan terhadap rakyat kecil.

Bung Karno melawan imperialisme dengan sosialisme dan koperasi. Prabowo melawan serakahnomic dengan kebijakan pro-rakyat, penegakan hukum terhadap mafia pangan, serta pembangunan koperasi desa sebagai basis kemandirian ekonomi rakyat.

Bung Karno berkata:

“Selama masih ada penghisapan manusia atas manusia, perjuangan belum selesai.”

Prabowo berkata:

“Ada yang mengoplos beras, dan mereka adalah pengkhianat rakyat. Mereka harus ditindak.”

Keduanya sadar, bahwa ekonomi bukan hanya urusan angka, tapi soal keadilan, martabat, dan kedaulatan rakyat.

Koperasi Desa: Jalan Keluar dari Serakahnomic

Sebagai penyeimbang dari kritiknya terhadap serakahnomic, Prabowo tidak tinggal diam. Ia menggagas Koperasi Desa Merah Putih sebagai alat untuk menghadirkan keadilan ekonomi di tingkat desa. Koperasi ini diharapkan menjadi:

  • Wadah produksi, distribusi, dan konsumsi rakyat,
  • Sarana gotong royong ekonomi berbasis desa,
  • Lembaga yang tidak dikendalikan oleh kartel atau mafia dagang.

Ini sejalan dengan gagasan Bung Karno yang menyebut:

“Koperasi adalah bentuk asli dari ekonomi Indonesia. Karena ia berbasis gotong royong, bukan persaingan bebas.”

Maka jika dulu Marhaen hanya punya cangkul dan sebidang tanah, kini Marhaen harus dipersenjatai dengan koperasi digital, logistik bersama, dan akses data yang adil. Marhaen harus masuk ke ruang digital bukan sebagai pengguna pasif, tapi sebagai pemilik platform dan pengendali nilai.

Baca Juga :  Wawancara Imajiner dengan Bung Karno: Mengenang Murdaya Widyawimarta Po, Pejuang Kewarganegaraan

Serakahnomic sebagai Peringatan Sejarah

Apa yang kita saksikan hari ini—ketika rakyat kecil bekerja keras tapi tetap miskin, ketika pangan dikuasai segelintir orang, ketika algoritma membatasi akses usaha—adalah pengulangan sejarah dalam format baru.

Dulu penjajah datang dari luar. Sekarang penjajah menyamar sebagai investor, influencer, atau pemilik aplikasi.

Dulu alat penjajahan adalah VOC dan senjata. Sekarang alatnya adalah komisi, rating, dan terms of service.

Dulu rakyat dijajah di pelabuhan dan perkebunan. Sekarang dijajah di platform belanja, dompet digital, dan pinjaman online.

Maka, istilah serakahnomic adalah sinyal bahaya. Ia bukan hanya kritik, tapi peringatan sejarah agar kita tidak mengulangi kesalahan lama: membiarkan rakyat kecil dikorbankan demi kenyamanan elite.

 Marhaenisme Digital

Zaman memang berubah. Tapi perjuangan tetap sama. Dulu Marhaen melawan penjajah dengan cangkul. Hari ini, Marhaen harus melawan penjajahan digital dengan kesadaran, koperasi, dan kedaulatan data.

Jika kita biarkan serakahnomic berkuasa, maka kita akan punya rakyat yang bekerja keras tapi tetap miskin, desa yang produktif tapi tetap terjajah, dan bangsa yang besar tapi mudah dibeli.

Maka kita butuh Marhaenisme baru:

  • Marhaen yang melek data,
  • Marhaen yang paham algoritma,
  • Marhaen yang punya koperasi dan platform sendiri,
  • Marhaen yang tidak tunduk pada rating dan komisi.

Dan kita butuh negara yang berpihak pada Marhaen. Bukan pada mereka yang memonopoli logistik, menguasai server, atau mencuri data.

Serakahnomic bukan takdir. Ia bisa dilawan. Seperti Bung Karno pernah lawan imperialisme, seperti Prabowo sekarang menentang mafia ekonomi.

Kini, giliran kita. Apakah kita akan jadi generasi yang membiarkan penjajahan baru terjadi di tangan bangsa sendiri, atau kita akan berdiri bersama Marhaen melawan serakahnomic?

 

Artikel ini telah dibaca 24 kali

Baca Lainnya

Menjemput Trisakti di Persimpangan Zaman: Risalah Reflektif dari Pertemuan Komantikor

22 Mei 2025 - 10:46 WIB

Hak Rakyat Dalam Daerah Istimewa

16 Mei 2025 - 13:25 WIB

MERDEKA MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM SENDIRI

10 Mei 2025 - 18:55 WIB

Wawancara Imajiner dengan Bung Karno: Mengenang Murdaya Widyawimarta Po, Pejuang Kewarganegaraan

13 April 2025 - 13:59 WIB

Indonesia dalam Politik Global: Tantangan dan Arah Kebijakan ke Depan

3 April 2025 - 21:46 WIB

Menapak Jejak Soekarno, Menyongsong Gagasan Prabowo: Harapan Baru untuk Indonesia

3 April 2025 - 17:18 WIB