Ketika berbicara tentang Indonesia, Ir. Soekarno tidak hanya melihatnya sebagai sekumpulan pulau yang disatukan oleh batas geografis, tetapi juga sebagai sebuah entitas kebudayaan yang kaya dan mendalam. Bagi Bung Karno, budaya bukan sekadar kesenian atau adat istiadat semata, melainkan roh yang memberi kehidupan dan identitas bagi bangsa ini. Dengan budaya, Indonesia bisa berdiri tegak, tidak hanya sebagai negara yang merdeka secara politik, tetapi juga secara mental dan jiwa.
Budaya sebagai Identitas Nasional
Soekarno sangat menekankan pentingnya budaya dalam membangun jati diri bangsa. Menurutnya, sebuah bangsa yang kehilangan budayanya adalah bangsa yang kehilangan dirinya sendiri. Ia sering mengajak rakyat Indonesia untuk menggali kembali akar budaya yang telah ada sejak lama, jauh sebelum penjajahan datang. Ia ingin agar bangsa Indonesia bangga dengan dirinya sendiri, bukan menjadi bangsa yang rendah diri terhadap budaya asing.
Sebagai contoh, batik yang merupakan warisan budaya Nusantara didorong oleh Soekarno untuk menjadi simbol kebanggaan nasional. Ia sering mengenakan batik dalam berbagai kesempatan sebagai bentuk penghargaan terhadap budaya lokal. Tidak hanya batik, ia juga mendukung wayang, seni tari, dan musik tradisional sebagai bagian dari identitas bangsa yang harus dijaga.
Gotong Royong: Budaya yang Mempersatukan
Salah satu nilai budaya yang selalu ditekankan oleh Soekarno adalah gotong royong. Dalam pandangannya, gotong royong adalah filosofi asli bangsa Indonesia yang harus dijaga dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Gotong royong bukan hanya sekadar membantu tetangga dalam membangun rumah atau mengerjakan sawah, tetapi juga menjadi prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bung Karno melihat gotong royong sebagai jawaban atas dua sistem yang saat itu sedang mendominasi dunia: kapitalisme dan komunisme. Kapitalisme terlalu individualistis, sementara komunisme terlalu kolektivis. Bagi Soekarno, gotong royong adalah jalan tengah yang lebih cocok dengan karakter bangsa Indonesia. Ia menekankan bahwa semangat gotong royong harus hadir dalam politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Indonesia.
Bahasa Indonesia: Simbol Persatuan Budaya
Salah satu pencapaian terbesar dalam aspek budaya yang sangat didukung oleh Soekarno adalah penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Ia memahami bahwa bahasa adalah alat utama dalam membentuk kesadaran kebangsaan. Dengan bahasa yang satu, rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke bisa bersatu tanpa harus kehilangan keanekaragaman budaya daerah mereka.
Soekarno tidak ingin Indonesia terpecah belah oleh perbedaan bahasa. Ia melihat bahwa bahasa Indonesia harus menjadi perekat kebangsaan yang menyatukan berbagai suku dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, ia terus mendorong penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, di pemerintahan, di sekolah-sekolah, dan di berbagai forum nasional.
Seni dan Budaya sebagai Alat Perjuangan
Soekarno bukan hanya seorang pemimpin politik, tetapi juga seorang pecinta seni dan budaya. Ia memahami bahwa seni bukan sekadar hiburan, tetapi juga alat perjuangan yang kuat. Dalam banyak kesempatan, ia menegaskan bahwa seni harus mencerminkan semangat zaman, mencerminkan perjuangan rakyat, dan menjadi bagian dari revolusi nasional.
Misalnya, dalam seni rupa, Soekarno sangat mengagumi karya-karya yang menggambarkan semangat nasionalisme dan perjuangan rakyat. Ia mengoleksi lukisan-lukisan dari seniman seperti Affandi dan Basuki Abdullah yang dianggapnya mampu menangkap jiwa bangsa Indonesia dalam sapuan kuas mereka. Dalam sastra, ia mengagumi puisi-puisi Chairil Anwar yang penuh semangat perjuangan dan kebebasan.
Selain itu, dalam bidang film, Soekarno juga melihat potensi besar. Film bukan hanya alat hiburan, tetapi juga media edukasi dan propaganda nasional. Salah satu film yang dianggap mencerminkan semangat nasionalisme pada masanya adalah Darah dan Doa (1950), yang menceritakan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Arsitektur Nasionalisme: Monas dan Gedung Bersejarah
Tidak hanya dalam seni dan sastra, Soekarno juga ingin budaya Indonesia tercermin dalam arsitektur. Ia memiliki visi besar dalam pembangunan gedung-gedung nasional yang mencerminkan karakter bangsa. Monumen Nasional (Monas) adalah salah satu contoh nyata dari gagasan tersebut.
Monas bukan hanya sekadar tugu, tetapi memiliki makna filosofis yang mendalam. Api di puncaknya melambangkan semangat perjuangan yang tidak pernah padam. Gedung DPR yang berbentuk setengah lingkaran juga mencerminkan filosofi musyawarah dan mufakat, nilai-nilai asli Indonesia dalam berdemokrasi.
Pancasila sebagai Cerminan Budaya Bangsa
Salah satu warisan terbesar Soekarno adalah Pancasila, yang bukan hanya dasar negara, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai budaya yang telah hidup di Nusantara selama berabad-abad. Setiap sila dalam Pancasila memiliki akar dalam budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia.
- Ketuhanan yang Maha Esa mencerminkan nilai religius yang telah lama dianut oleh masyarakat Indonesia yang beragam.
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang telah tertanam dalam budaya bangsa.
- Persatuan Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragam tetapi tetap satu.
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan adalah cerminan dari budaya musyawarah yang telah lama dipraktikkan oleh masyarakat adat.
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menegaskan bahwa kesejahteraan harus dinikmati oleh semua, bukan hanya segelintir orang.
Budaya sebagai Revolusi Mental
Soekarno tidak hanya ingin rakyat Indonesia merdeka secara fisik, tetapi juga secara mental. Ia sering menyinggung istilah “mental inlander,” yaitu mentalitas rendah diri yang diwarisi dari kolonialisme. Bung Karno ingin menghapus mentalitas tersebut dan menggantinya dengan kebanggaan terhadap budaya sendiri.
Revolusi mental yang dicanangkan Soekarno bukan hanya tentang membangun infrastruktur atau ekonomi, tetapi juga membangun karakter bangsa. Ia ingin rakyat Indonesia menjadi bangsa yang percaya diri, kreatif, dan mandiri, tanpa harus bergantung pada negara lain.
Kesimpulan: Soekarno dan Warisan Budaya Indonesia
Bagi Soekarno, budaya bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi fondasi bagi masa depan. Ia ingin budaya Indonesia menjadi kekuatan yang menggerakkan bangsa, bukan sekadar pajangan dalam museum. Dari seni, arsitektur, hingga gotong royong, semuanya harus menjadi bagian dari identitas nasional yang kuat.
Pemikiran Soekarno tentang budaya masih relevan hingga hari ini. Dalam era globalisasi yang penuh dengan pengaruh budaya asing, kita harus tetap menjaga dan mengembangkan budaya kita sendiri. Seperti yang sering dikatakan Bung Karno: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Sejarah dan budaya adalah dua hal yang tak terpisahkan. Tanpa budaya, kita bukan siapa-siapa. Dengan budaya, kita bisa menjadi bangsa yang besar.