Indonesia adalah negeri kaya. Sumber daya alam melimpah, tanah subur, lautan luas, dan rakyat yang gigih. Namun, mengapa negeri ini masih bergulat dengan kemiskinan dan ketimpangan? Pertanyaan ini sudah lama mengusik banyak pemimpin bangsa, termasuk dua tokoh besar yang akan kita bahas hari ini: Soekarno dan Prabowo Subianto.
Meski lahir di zaman yang berbeda, keduanya sama-sama menyuarakan nasionalisme yang kuat, pentingnya kemandirian ekonomi, serta peran negara yang strategis. Soekarno adalah bapak bangsa, perumus Pancasila, dan arsitek utama kemerdekaan Indonesia. Sementara Prabowo, mantan militer dan tokoh politik kontemporer, melalui bukunya Kembalikan Indonesia! mencoba merumuskan ulang jalan keluar dari kemelut bangsa.
Yuk, kita telusuri jejak pemikiran mereka berdua!
Soekarno: Membangun Bangsa dari Nol
Saat Indonesia baru merdeka, Soekarno menghadapi tantangan luar biasa. Negara baru ini belum punya sistem pemerintahan yang mapan, ekonomi masih bergantung pada kolonial, dan masyarakat sangat beragam. Untuk menjawab tantangan ini, Soekarno menggagas fondasi ideologis berupa Pancasila—lima prinsip yang bukan hanya filosofis, tapi juga sangat aplikatif: dari nasionalisme, kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, sampai Ketuhanan.
Bukan hanya itu, Soekarno juga mencetuskan Marhaenisme, ideologi khas Indonesia yang berpihak pada rakyat kecil. Ia terinspirasi dari seorang petani miskin bernama Marhaen, dan dari situlah lahir semangat anti-imperialisme dan keadilan sosial ala Indonesia.
Dan tak lupa, ada doktrin Trisakti yang terkenal itu: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Menurut Soekarno, Indonesia harus mandiri di semua lini kalau mau benar-benar merdeka. Tidak boleh tunduk pada kekuatan asing, baik secara politik maupun ekonomi.
Salah satu gagasan ekonominya yang menarik adalah Ekonomi Gotong Royong, yaitu sistem ekonomi yang berdasarkan semangat kebersamaan, kerja sama, dan anti-eksploitasi. Ini adalah jalan tengah antara kapitalisme dan komunisme, sangat khas Indonesia.
Prabowo: Mewarisi Semangat, Menyesuaikan dengan Zaman
Setelah era Soekarno berlalu dan Indonesia mengalami reformasi, muncul tantangan baru: globalisasi, dominasi asing dalam ekonomi, dan ketimpangan sosial yang terus melebar. Di tengah situasi itu, Prabowo Subianto menyuarakan keprihatinannya melalui buku Kembalikan Indonesia! yang diterbitkan pada 2004.
Prabowo bertanya: kenapa negeri yang kaya raya justru banyak rakyatnya hidup susah? Ia menyebut ini sebagai “Paradoks Indonesia”. Menurutnya, penyebabnya adalah kebijakan ekonomi yang keliru dan terlalu tunduk pada kepentingan asing.
Solusinya? Prabowo mengusulkan haluan baru: sistem ekonomi yang berdaulat, negara yang aktif mengatur arah pembangunan, serta penguatan sektor strategis seperti pangan, energi, dan pertahanan. Ia mendorong kemandirian ekonomi—konsep yang sangat dekat dengan berdikari ala Soekarno.
Lebih jauh, Prabowo juga menyoroti perlunya mengurangi ketergantungan impor dan membangun industri dalam negeri yang kuat, termasuk industri pertahanan. Baginya, Indonesia harus bisa memproduksi sendiri apa yang dibutuhkan rakyatnya, agar tidak mudah diintervensi kekuatan luar.
Perbandingan: Dua Zaman, Satu Semangat
Meskipun beda zaman, semangat yang diusung Soekarno dan Prabowo ternyata sejalan. Keduanya menolak dominasi asing, menuntut peran negara yang kuat, dan menginginkan keadilan ekonomi untuk seluruh rakyat.
Mari kita bandingkan:
Aspek | Soekarno | Prabowo |
Ideologi dasar | Pancasila, Marhaenisme, Trisakti | Pancasila, nasionalisme ekonomi |
Sikap terhadap asing | Anti-imperialis, pemimpin Non-Blok | Kritis terhadap dominasi asing, tapi pragmatis |
Model ekonomi | Ekonomi Gotong Royong | Ekonomi Pancasila, pro-intervensi negara |
Peran negara | Sangat besar dalam pembangunan | Negara sebagai pengarah dan pelindung ekonomi nasional |
Fokus utama | Membangun fondasi bangsa yang baru merdeka | Menegakkan kembali kedaulatan ekonomi dan sosial pasca-reformasi |
Yang membedakan keduanya adalah konteks zaman. Soekarno berjuang dalam masa transisi dari penjajahan ke kemerdekaan, saat struktur negara belum terbentuk. Sedangkan Prabowo tampil di masa globalisasi, ketika Indonesia sudah merdeka secara politik, tapi masih banyak tantangan dari segi ekonomi dan sosial.
Mengapa Ini Relevan Hari Ini?
Di tengah gempuran arus global, isu-isu seperti ketahanan pangan, energi, industri dalam negeri, dan kemandirian bangsa kembali mencuat. Kita menghadapi tantangan besar: ketergantungan impor, utang luar negeri, kesenjangan sosial, serta minimnya peran negara dalam sektor strategis.
Gagasan-gagasan dari Soekarno dan Prabowo bisa menjadi inspirasi untuk membangun jalan tengah yang khas Indonesia. Kita tidak harus meniru mentah-mentah model barat atau timur. Kita bisa menciptakan sistem sendiri, yang berakar dari budaya gotong royong dan nilai-nilai kebangsaan.
Ekonomi Pancasila, misalnya, menawarkan kerangka yang adil: negara tidak boleh lepas tangan, tapi juga tidak harus mengontrol segalanya. Harus ada keseimbangan antara kebebasan dan intervensi, antara pasar dan perencanaan negara.
Apa yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Warga Negara?
Kita semua punya peran. Bukan hanya pemerintah atau elite politik. Sebagai rakyat biasa, kita bisa mulai dari hal kecil: mencintai produk dalam negeri, peduli pada isu-isu bangsa, dan terus belajar memahami sejarah dan pemikiran para pendiri bangsa.
Kita juga bisa kritis terhadap kebijakan publik, mendukung pemimpin yang punya visi jelas, dan tidak apatis terhadap politik. Karena pada akhirnya, masa depan Indonesia ada di tangan kita semua.
Penutup: Menyatukan Warisan dan Harapan
Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Tapi menghargai bukan berarti hanya mengenang. Kita juga perlu melanjutkan perjuangan mereka dengan cara dan konteks zaman kita.
Prabowo, lewat Kembalikan Indonesia!, mencoba merumuskan ulang semangat itu dalam bingkai abad ke-21. Visi Indonesia yang mandiri, kuat, dan berdaulat masih sangat relevan, bahkan mungkin lebih mendesak dari sebelumnya.
Kini, tugas kita adalah menjadikan gagasan-gagasan besar itu sebagai bahan refleksi: bagaimana kita bisa membuat Indonesia lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Bukan hanya untuk segelintir orang, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia—dari Sabang sampai Merauke.