Menu

Mode Gelap
Soft Launching Marhaen TV, Sabtu 26 Maret 2022 Mas Tok – Guntur Soekarno : Demokrasi Indonesia itu Demokrasi 50 plus 1 | Bincang Bareng Tokoh 001 GPM Maluku Utara Desak Pertanggungjawaban PLN atas Dugaan Kelalaian di Gane Barat Marhaenisme Bung Karno: Masih Relevan di Zaman Sekarang? Buku Darmo Gandul: Refleksi Kepemimpinan dan Budaya Jawa dalam Sejarah dan Kearifan Lokal

Opini · 22 Mei 2025 10:46 WIB ·

Menjemput Trisakti di Persimpangan Zaman: Risalah Reflektif dari Pertemuan Komantikor


					Menjemput Trisakti di Persimpangan Zaman: Risalah Reflektif dari Pertemuan Komantikor Perbesar

Oleh: Suryokoco

Ketika Bangsa Mengaca pada Proklamasi

Dalam pembukaan sidang Komantikor malam itu, Pak Nurrachman Oerip membuka perenungan kita dengan mengutip alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Kata-katanya menggetarkan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh niat luhur…” Kalimat itu mengandung kesadaran spiritual dan tanggung jawab kebangsaan yang mendalam. Dari situlah beliau membawa kita menengok ruang dan waktu sebagai dimensi geopolitik dan sejarah bangsa. Kita bukan sekadar berdiri di atas dua benua dan dua samudra, tetapi juga di antara dua ideologi besar dunia.

Beliau mengajak kita menyadari bahwa Indonesia tak bisa sekadar netral, tapi justru harus menjadi pemilik visi. Bung Karno di tahun 1960 pernah menyodorkan Pancasila sebagai jalan alternatif di tengah pusaran komunisme dan kapitalisme. Pancasila adalah jembatan vertikal dan horizontal: antara manusia dan Tuhan, antara bangsa dengan bangsa.

Pancasila dan Konstitusi: Antara Idealisme dan Kenyataan

Pak Nurrachman dengan tegas menyoroti amandemen konstitusi sebagai titik belok sejarah. Empat kali amandemen telah mengubah arah perjuangan bangsa, dari konstitusi yang mengikat jiwa, menjadi aturan yang dingin dan prosedural. Ia menggugat hilangnya Penjelasan UUD 1945 sebagai pencabut roh dari tubuh bangsa. Di tengah itu, ia menyebut perlunya adendum, bukan pembongkaran.

Baca Juga :  Soekarwo: Dari Birokrat hingga Gubernur, Perjuangan Nasionalis Alumni GMNI

Satu per satu fakta ia bentangkan. Mengapa bangsa-bangsa besar seperti Amerika tak mengubah konstitusinya secara total? Karena mereka sadar: jati diri bangsa tak boleh ditukar dengan modernitas semu. Di sinilah Pancasila bukan hanya dokumen, melainkan way of life. Jalan hidup yang harus dibumikan bukan hanya dimulutkan.

Korupsi sebagai Pandemi Kebudayaan

Mas Kris dan Mbak Rafi melanjutkan dengan uraian yang menggugah. Bahwa korupsi hari ini bukan hanya kejahatan keuangan, tetapi kanker budaya. Ia mengakar dalam pandangan hidup, dalam norma yang menyimpang, dalam pendidikan yang hanya melahirkan teknokrat tanpa etika.

Baca Juga :  Bung Karno dan Desa: Mewujudkan Harapan Rakyat Lewat Semangat Gotong Royong

Mereka memaparkan bahwa kapitalisme, liberalisme, bahkan sisa feodalisme lama kini berselingkuh dengan kekuasaan modern. Oligarki menjelma dalam rupa lembaga politik, hukum, hingga ekonomi. Undang-undang penanaman modal asing, manipulasi pemilu, hingga pelemahan KPK, hanyalah gejala dari perang asimetris global yang tak kasat mata. Indonesia jadi pasar, bukan tuan rumah.

Teknologi dan Disorientasi Bangsa

Kang Dimas membawa dimensi baru: digitalisasi. Bahwa dunia maya kini bukan sekadar ruang hiburan, tetapi medan perang ideologi. Internet yang semula menjanjikan demokratisasi informasi, justru menciptakan tsunami disinformasi. Echo chamber dan algoritma telah memenjarakan nalar. Anak bangsa lebih akrab dengan wacana asing daripada sejarah bangsanya sendiri.

Ia menunjukkan bagaimana kekerasan dan radikalisme meningkat seiring meluasnya internet. Bahwa ketika narasi kebangsaan lemah, narasi lain masuk tanpa hambatan. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya soal kurikulum, tapi kemampuan literasi digital, budaya, dan sejarah bangsa.

Komantikor dan Jalan Pulang ke Trisakti

Diskusi malam itu ditutup dengan suara-suara penuh keprihatinan, tetapi juga harapan. Saya sendiri merangkum tiga hal penting yang bisa menjadi pijakan:

Baca Juga :  Manikebu dan Pergerakan Seni Budaya dalam Arus Politik Indonesia

Pertama, kita harus mengembalikan semangat Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ini bukan jargon, tapi jalan pulang.

Kedua, kita perlu menegakkan kembali konstitusi sebagai napas bangsa. Amandemen yang sudah menjauh dari cita-cita proklamasi harus kita tanggapi dengan adendum yang memulihkan jiwa bangsa.

Ketiga, kita perlu membangun kekuatan sipil, moral, dan intelektual. Komantikor bisa menjadi simpul gerakan anti-korupsi berbasis nilai, bukan sekadar hukum. Gerakan ini harus masif, terstruktur, dan sistematis.

Sebagai penutup, saya ingin mengajak kita semua merenung: Jika kita merasa Indonesia dalam keadaan tidak baik-baik saja, maka kita perlu menyalakan lilin daripada mengutuk gelap. Komantikor adalah lilin kecil itu. Mari kita rawat dan kita nyalakan bersama.

Jatinegara, malam yang penuh harapan.

Artikel ini telah dibaca 10 kali

Avatar photo badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Hak Rakyat Dalam Daerah Istimewa

16 Mei 2025 - 13:25 WIB

MERDEKA MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM SENDIRI

10 Mei 2025 - 18:55 WIB

Wawancara Imajiner dengan Bung Karno: Mengenang Murdaya Widyawimarta Po, Pejuang Kewarganegaraan

13 April 2025 - 13:59 WIB

Indonesia dalam Politik Global: Tantangan dan Arah Kebijakan ke Depan

3 April 2025 - 21:46 WIB

Menapak Jejak Soekarno, Menyongsong Gagasan Prabowo: Harapan Baru untuk Indonesia

3 April 2025 - 17:18 WIB

Membaca Pemikiran Prabowo dalam buku Kembalikan Indonesia Haluan Baru Keluar dari Kemelut Bangsa

3 April 2025 - 17:08 WIB