Menu

Mode Gelap
Soft Launching Marhaen TV, Sabtu 26 Maret 2022 Mas Tok – Guntur Soekarno : Demokrasi Indonesia itu Demokrasi 50 plus 1 | Bincang Bareng Tokoh 001 GPM Maluku Utara Desak Pertanggungjawaban PLN atas Dugaan Kelalaian di Gane Barat Marhaenisme Bung Karno: Masih Relevan di Zaman Sekarang? Buku Darmo Gandul: Refleksi Kepemimpinan dan Budaya Jawa dalam Sejarah dan Kearifan Lokal

Berita · 19 Agu 2025 16:09 WIB ·

Merdeka dalam Bayang-Bayang Kekerasan dan Kebijakan Serampangan: Refleksi 80 Tahun Republik Indonesia


					Foto: Apriansyah Wijaya, S.Sos., Kader DPC GMNI Tangerang Selatan, Aktivis Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan, Aktivis Pemuda/MARHAEN.ID. Perbesar

Foto: Apriansyah Wijaya, S.Sos., Kader DPC GMNI Tangerang Selatan, Aktivis Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan, Aktivis Pemuda/MARHAEN.ID.

Oleh: Apriansyah Wijaya, S.Sos., Kader DPC GMNI Tangerang Selatan, Aktivis Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan, Aktivis Pemuda.

MARHAEN.ID : Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, kita kembali ditarik pada pertanyaan mendasar: apakah republik ini benar-benar merdeka, atau hanya sekadar mengganti bentuk penjajahan dengan wajah baru yang lebih rapi? Angka dan peristiwa yang kita lihat di sepanjang 2025 menyingkap paradoks itu, antara janji dan kenyataan, antara jargon kemerdekaan dan praktik yang membelenggu.

Tahun 2025 adalah tahun pertama bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2024. Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik Oktober lalu, membawa slogan besar tentang keberlanjutan dan stabilitas. Namun kenyataan sosial-politik yang mengiringi tahun pertama ini tidak sepenuhnya stabil. Skor demokrasi Indonesia menurut Freedom House hanya 58/100, menempatkan kita dalam kategori “Partly Free.” International IDEA pun menegaskan Indonesia berada di titik tengah, dengan tanda-tanda pelemahan pada kebebasan sipil. Itu artinya, demokrasi kita masih lebih sering ditopang prosedur pemilu daripada kebebasan substantif yang menjamin rakyat dapat bersuara tanpa takut.

Situasi ekonomi pun penuh ironi. Di satu sisi, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 mencapai 5,17%, angka yang secara makro tampak sehat. Namun jika kita gali ke bawah, ada 7,86 juta orang menganggur per Februari 2025, dengan tingkat pengangguran terbuka 4,76%.

Angka ini memang sedikit turun dari tahun sebelumnya, tetapi gelombang PHK massal sejak 2024 hingga 2025 meninggalkan luka yang lebih dalam ketimbang persentase statistik. Inflasi Juli 2025 yang menyentuh 3,34% dengan pangan sebagai penyumbang utama justru terasa nyata di dapur rakyat. Pertumbuhan ekonomi ternyata tidak otomatis menghadirkan pertumbuhan kesejahteraan.

Kebijakan fiskal dan pajak menambah lapisan kegelisahan. Masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dikejutkan oleh kenaikan PBB-P2 hingga 250%. Cirebon bahkan lebih drastis, ada laporan kenaikan hingga 1.000%. Bagaimana reaksi rakyat? Demo, posko penolakan, protes di jalanan. Bagaimana reaksi pemerintah daerah? Awalnya defensif, lalu mundur setelah tekanan rakyat terlalu kuat.

Baca Juga :  Pernyataan Sikap GMNI Se-Balikpapan Desak Kongres Persatuan

Bupati Pati akhirnya membatalkan kebijakan itu, Wali Kota Cirebon memberi janji menata ulang aturan. Dari sini kita melihat bahwa relasi negara dan rakyat masih serupa pola lama: pemerintah daerah berusaha menutup lubang fiskal dengan jalan pintas, sementara rakyat diposisikan sebagai sapi perah. Ketika rakyat marah, baru ada koreksi. Seolah negara hanya belajar setelah dipaksa, bukan karena kesadaran akan hak rakyat.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika fiskal nasional. Pemerintah pusat sempat berencana menaikkan PPN menjadi 12%, namun akibat tekanan publik akhirnya dibatalkan demi menjaga agar konsumsi tak makin tertekan. Namun di saat bersamaan, kebijakan efisiensi dan kebijakan pajak daerah memberi ruang bagi kepala daerah untuk mengutak-atik tarif pajak demi menambal APBD yang bolong. Maka lahirlah kebijakan serampangan: kenaikan pajak hiburan hingga 75%, royalti kesenian, PBB yang melonjak ribuan persen. Di balik itu semua, rakyatlah yang paling mudah diminta berkorban.

Padahal bila dilihat lebih luas, lubang fiskal tidak lepas dari praktik korupsi yang masih merajalela. Pada 2024–2025 publik dikejutkan dengan kasus besar: korupsi Pertamina Rp193 triliun, kredit LPEI Rp890 miliar, hingga suap di Mahkamah Agung. Negara yang meminta rakyat patuh bayar pajak rupanya masih bocor di atas.

Dalam suasana seperti ini, ekspresi rakyat seringkali menemukan jalannya lewat simbol-simbol budaya populer. Salah satunya fenomena bendera One Piece yang dikibarkan warga sebagai bentuk protes jenaka sekaligus serius. Di beberapa daerah aparat justru menanggapi dengan penertiban, teguran, bahkan ancaman pidana.

Polisi dan Satpol PP di Tuban misalnya, menurunkan bendera itu dan memanggil warga yang mengibarkannya. Ada pula mural One Piece yang dihapus aparat. Narasi yang berkembang: bendera ini dianggap “penghinaan” terhadap Merah Putih. Namun istana justru mengatakan Presiden tidak mempermasalahkan, Komnas HAM menilai itu bentuk kebebasan berekspresi.

Baca Juga :  BERITA DUKA CITA: Senior GMNI Bung Moegiono S.H. Meninggal Dunia

Amnesty International menegaskan bahwa mengibarkan bendera One Piece bukan makar, melainkan hak warga menyampaikan kritik damai. Ironinya, negara yang seharusnya percaya diri menghadapi rakyatnya justru terlihat paranoid terhadap simbol kartun bajak laut.

Kebebasan berekspresi memang masih menjadi titik lemah demokrasi kita. Ruang kritik rakyat sering dipersempit dengan alasan stabilitas. Namun pengalaman sejarah menunjukkan: stabilitas yang ditegakkan dengan cara membungkam selalu rapuh. Setiap tindakan represif kecil, meskipun hanya menurunkan bendera atau menegur mural, adalah fragmen dari gambaran besar: kekuasaan yang takut pada suara rakyatnya sendiri.

Kekerasan aparat selama satu dekade terakhir menjadi bukti paling telanjang. KontraS mencatat ada 651 kasus kekerasan polisi sepanjang Juni 2020–Mei 2021, dengan korban 13 orang tewas tertembak dan hampir seratus luka-luka. Tahun-tahun berikutnya polanya berulang. Data terbaru menunjukkan Juli 2024–Juni 2025 terjadi 602 peristiwa kekerasan oleh Polri, termasuk 44 kasus salah tangkap, delapan di antaranya berujung kematian. Komnas HAM juga menerima lebih dari 1.100 aduan pada Januari–Mei 2025, mayoritas terkait aparat penegak hukum.

Kasus-kasus besar seperti penembakan enam anggota FPI (2020), kerusuhan pasca Pemilu 2019 dengan enam orang tewas, hingga Tragedi Kanjuruhan 2022 yang menelan 135 korban jiwa, semuanya menunjukkan pola sama: penggunaan kekuatan berlebihan tanpa pertanggungjawaban memadai. TNI pun tak lepas dari catatan kelam: sepanjang 2016–2017 saja, KontraS mendokumentasikan 138 kasus kekerasan dengan korban 15 orang meninggal dan lebih dari seratus luka-luka.

Pola ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari hubungan historis antara negara dan rakyat yang sejak awal berdiri di atas logika kontrol. Aparat negara masih sering diposisikan sebagai alat kekuasaan, bukan pelindung rakyat. Setiap kali terjadi gesekan, yang muncul lebih dulu adalah kekerasan, bukan dialog.

Sementara itu, proses hukum atas aparat yang melakukan pelanggaran sering berakhir mandek, atau dijatuhkan hukuman ringan yang tak sepadan dengan nyawa yang hilang. Di titik ini, rakyat merasa semakin jauh dari republik yang mereka dirikan sendiri 80 tahun lalu.

Baca Juga :  Dipimpin Yusron, DPD Gerakan Rakyat Jakarta Utara Periode 2025–2030 Resmi Terbentuk

Jika ditarik ke garis panjang sejarah, pola ini adalah kelanjutan dari kontradiksi yang sejak awal melekat pada republik: negara dibentuk untuk melindungi rakyat, tetapi kerap beroperasi dengan logika melindungi kepentingan elite. Dalam bahasa sehari-hari, negara ada tapi sering terasa tidak berpihak. Maka jangan heran bila rakyat lebih memilih menyalurkan protes lewat bendera One Piece atau sindiran di media sosial, karena kanal formal dianggap tidak memadai.

Delapan puluh tahun republik seharusnya jadi momen refleksi mendalam. Apakah merdeka hanya berarti bebas dari kolonialisme asing, ataukah juga berarti bebas dari penindasan internal? Apakah merdeka hanya berarti punya pemerintahan sendiri, ataukah juga berarti rakyat punya kedaulatan yang nyata atas hidupnya? Selama rakyat masih diperas lewat pajak serampangan, selama kritik rakyat masih dicurigai, selama aparat masih mudah mengangkat senjata pada warga sipil, maka kemerdekaan kita masih setengah hati.

Namun sejarah juga mengajarkan bahwa rakyat tidak pernah diam. Di Pati, protes berhasil memaksa pemerintah daerah mundur. Dalam kasus bendera One Piece, kritik publik mendorong istana mengambil sikap yang lebih lunak. Rakyat yang berani bersuara adalah sumbu kecil yang bisa memaksa koreksi. Inilah tanda bahwa republik tidak sepenuhnya gelap; selalu ada celah bagi rakyat untuk memaksa negara kembali ke jalurnya.

Merdeka di usia 80 tahun bukan sekadar seremoni mengibarkan Merah Putih di tiang tertinggi. Merdeka berarti memastikan rakyat tidak lagi ditekan dengan pajak yang tak adil, tidak lagi ditakut-takuti karena kritik, dan tidak lagi menjadi korban kekerasan aparat. Merdeka berarti negara berani berpihak pada rakyatnya sendiri, bukan hanya pada elite dan kepentingan modal. Karena jika tidak, kemerdekaan hanyalah ritual tahunan, sementara substansinya terus dirampas hari demi hari.***

Artikel ini telah dibaca 19 kali

Baca Lainnya

Gelar PPAB, GMNI Morowali: Kami telah Lahirkan 13 Pejuang Marhaenis yang Siap Mengapdi untuk Rakyat

30 September 2025 - 14:47 WIB

Terpilih dalam Konfercab, Efrem Elman Siarif Ndruru dan Noval Fahrizal Gunawan Resmi Nahkodai DPC GMNI Jaktim Periode 2025-2027

28 September 2025 - 15:04 WIB

Bumikan Marhaenisme di Tanah Sintuwu Maroso, GMNI Poso Gelar PPAB ke 2

20 September 2025 - 13:29 WIB

Reformasi Polri Dimulai dengan Mencopot Sigit sebagai Kapolri

19 September 2025 - 00:04 WIB

Kaderisasi adalah Kekuatan Persatuan dalam Tubuh GMNI

16 September 2025 - 22:53 WIB

Lantik DPD PA GMNI Sulteng dan Sulbar, Prof Arief Hidayat Ajak Kader Teladani Pendiri Bangsa untuk Jaga Indonesia

14 September 2025 - 21:57 WIB