Oleh: Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.
Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, saya terdorong untuk mengajak segenap bangsa melakukan refleksi kritis terhadap salah satu aspek paling fundamental dalam bernegara: pengelolaan sumber daya alam (SDA). Sejak Proklamasi 1945, para pendiri bangsa telah menyadari bahwa kekayaan alam Indonesia adalah modal dasar menuju kesejahteraan bersama. Namun, pertanyaannya: sudahkah kekayaan itu benar-benar dikelola oleh bangsa sendiri untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?
Kita patut mengingat kembali pesan Bung Karno yang sangat visioner, “Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar dunia iri dengan Indonesia, dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya.” Petuah ini menjadi semacam wasiat ideologis bahwa kemerdekaan sejati hanya tercapai jika bangsa ini mampu berdiri di atas kaki sendiri—terutama dalam penguasaan dan pengelolaan SDA.
Dari Ketergantungan Menuju Kedaulatan
Selama dekade awal kemerdekaan, keterbatasan dalam teknologi, SDM, dan pendanaan membuat Indonesia harus membentuk pola kemitraan dengan pihak asing untuk mengeksplorasi SDA, sebagaimana terlihat dalam skema Kontrak Karya seperti di sektor pertambangan. Pola ini bersifat sementara, dan hanya sebagai jembatan menuju kemandirian. Namun, selama bertahun-tahun, pola tersebut justru menjadi jebakan ketergantungan, bahkan ketidakadilan.
Kabar baiknya, akuisisi 51,23% saham PT. Freeport oleh Indonesia menjadi titik balik yang patut diapresiasi. Ini bukan sekadar akuisisi bisnis, tapi afirmasi bahwa negara ini telah cukup dewasa dan berani untuk mengambil nasibnya sendiri. Kita sedang menuju fase baru: kedaulatan dalam pengelolaan kekayaan alam.
Eko-Marhaenisme: Manusia, Tanah Air, dan Masa Depan
Dalam banyak pidato dan tulisan Bung Karno, tergambar kuat relasi emosional antara manusia dan tanah air. Beliau berkata, “Indonesia adalah langit biru, mega putih, udara hangat… bila aku mendengar anak-anak tertawa, aku mendengar Indonesia.” Pernyataan itu menunjukkan bahwa hubungan kita dengan tanah air bukan hubungan ekonomi semata, tapi hubungan ekologis dan spiritual.
Di sinilah saya memperkenalkan gagasan Eko-Marhaenisme yakni pertemuan antara semangat marhaenisme (keberpihakan pada rakyat kecil) dengan prinsip ekologi yang berkelanjutan. Sebuah paradigma yang menjawab tantangan modern: bagaimana mengelola kekayaan alam tanpa merusak daya dukung lingkungan dan mengorbankan generasi mendatang.
Pasal 33 UUD 1945 hasil amandemen keempat secara eksplisit memuat prinsip ini. Bahwa perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip keberlanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian. Kita tidak sedang meniru demokrasi ekonomi ala Barat, tetapi menghidupkan politiek-economische democratie yang khas Indonesia—yakni demokrasi yang berkeadilan sosial.
Peran Negara: Bukan Penonton, Tapi Pelaku
Sebagai lembaga penjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan beberapa perkara penting yang menyangkut pengelolaan SDA, seperti pada UU Ketenagalistrikan, UU Migas, dan UU Sumber Daya Air. Dalam berbagai putusan tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa “penguasaan oleh negara” bukanlah frasa kosong. Negara wajib menjalankan empat fungsi utama:
- Membuat kebijakan (beleid)
- Mengatur (regelendaad)
- Mengelola (beheersdaad)
- Mengawasi (toezichthoudendaad)
Namun implementasinya harus disesuaikan dengan sifat SDA itu sendiri. Pengelolaan sumber daya air, misalnya, tentu berbeda dengan pengelolaan minyak atau batu bara. Tetapi prinsipnya satu: harus untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal yang perlu kita hindari adalah distorsi prinsip kekeluargaan seperti yang terjadi di masa lalu, di mana asas ini diselewengkan menjadi legitimasi nepotisme. Prinsip koperasi, gotong royong, dan partisipasi rakyat sejatinya adalah esensi dari demokrasi ekonomi yang harus kita kembalikan ke jalan yang benar.
Pembangunan Berkelanjutan: Jangan Sampai Rakyat Tumbang karena Tambang
Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah mungkin mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa merusak lingkungan? Jawabannya tegas: mungkin dan harus mungkin. Dengan syarat: ada keberanian politik, kecerdasan ekologis, dan keteguhan untuk menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan korban, dari pembangunan.
Indonesia telah memiliki berbagai regulasi dan peraturan, tetapi tantangan utamanya ada pada implementasi dan integritas lembaga. Kita membutuhkan tata kelola SDA yang transparan, akuntabel, dan melibatkan masyarakat secara aktif. Terlebih di era perubahan iklim dan krisis ekologis global, pengelolaan SDA tidak boleh dilakukan secara eksploitatif. Harus ada keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Buku “Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan” yang saya beri pengantar, menyajikan analisis multi-perspektif tentang isu-isu strategis seperti energi terbarukan, proyek nasional, dan pelestarian lingkungan hidup. Saya yakin, buku ini dapat menjadi referensi penting bagi akademisi, pengambil kebijakan, hingga generasi muda yang peduli masa depan bumi Indonesia.
Menulis sebagai Tindakan Perjuangan
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa tulisan adalah bagian dari perjuangan. Melalui pena, kita bisa menyalakan kesadaran baru, membuka jalan perubahan, dan menjadi penjaga akal sehat di tengah derasnya arus kepentingan pragmatis.
Maka saya mengajak segenap anak bangsa: mari kita jaga kekayaan negeri ini. Jangan biarkan sumber daya kita hanya menjadi angka di neraca ekonomi, tapi wujudkanlah menjadi kemakmuran nyata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Merdeka bukan hanya soal lepas dari penjajahan. Merdeka adalah keberanian untuk mengelola kekayaan sendiri, menjaga alam sendiri, dan menentukan arah sendiri.