P. Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ
Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang tidak hanya menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi juga berfungsi sebagai tolok ukur etika politik. Sebagai nilai-nilai dan cita-cita bersama, Pancasila telah mengalami berbagai tantangan selama lebih dari 80 tahun. Meskipun demikian, saat ini Pancasila telah menunjukkan kemantapannya. Namun, ada ancaman besar yang dapat menggoyahkan eksistensinya, yaitu jika prinsip keadilan sosial diabaikan.
Pancasila dalam Etika Bernegara
Sejak 1945, Indonesia telah disepakati sebagai republik yang menganut sistem demokrasi. Namun, dalam praktiknya, terdapat perbedaan tajam dalam memahami konsep demokrasi itu sendiri. Salah satu permasalahan mendasar adalah kegagalan menetapkan hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada masa awal kemerdekaan. Kesalahpahaman mengenai hak-hak asasi ini juga turut memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia.
Dalam era reformasi, Indonesia berhasil menginstalasi demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi berdasarkan Pancasila. Namun, reformasi belum sepenuhnya berhasil dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang masih menjadi masalah mendasar dalam sistem politik Indonesia.
Krisis Demokrasi di Indonesia
Dua puluh lima tahun setelah reformasi, demokrasi Indonesia mengalami kemunduran akibat pembusukan dari dalam. Demokrasi yang seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat justru beralih menjadi oligarki. Para politisi yang seharusnya melayani masyarakat malah lebih sering mencari keuntungan pribadi dan kekuasaan. Hal ini diperparah oleh partai politik yang tidak memiliki orientasi ideologis yang jelas, melainkan lebih bersifat dinastika dan berorientasi pada tokoh-tokoh kuat tertentu.
Salah satu bukti nyata dari pembusukan ini adalah sulitnya menjadi wakil rakyat di parlemen tanpa kekayaan yang besar atau dukungan dari orang-orang kaya. Akibatnya, demokrasi di Indonesia tidak memiliki partai kiri yang kuat, tidak ada partai yang benar-benar mewakili kaum kecil, serta tidak ada oposisi yang efektif.
Xi-Jinping-isme: Alternatif bagi Indonesia?
Beberapa pihak mungkin melihat model kepemimpinan Xi Jinping di Tiongkok sebagai alternatif bagi Indonesia. Xi-Jinping-isme menawarkan sistem pemerintahan otoriter dengan partai ideologis yang mendukung kekuasaan mutlak di tangan partai, serta kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, penerapan sistem ini di Indonesia diperkirakan akan gagal karena kekuasaan di Indonesia lebih banyak didukung oleh oligarki daripada partai politik yang kuat. Motivasi oligarki lebih cenderung kepada kepentingan pribadi dibandingkan kesejahteraan rakyat.
Kesimpulan
Pancasila tetap menjadi fondasi yang paling relevan bagi etika politik di Indonesia. Namun, untuk memastikan keberhasilannya, Indonesia harus mampu mengatasi tantangan demokrasi, menghilangkan praktik oligarki, dan memastikan bahwa keadilan sosial benar-benar ditegakkan. Jika tidak, demokrasi Indonesia akan terus mengalami degradasi, menjauh dari prinsip-prinsip Pancasila yang sesungguhnya.
Disarikan dari paparan P. Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ dalam Acara Dialog Nasional: “Etika Bernegara Pancasila” DPP PA GMNI, Jakarta, 22 Maret 2025