Menu

Mode Gelap
Soft Launching Marhaen TV, Sabtu 26 Maret 2022 Mas Tok – Guntur Soekarno : Demokrasi Indonesia itu Demokrasi 50 plus 1 | Bincang Bareng Tokoh 001 GPM Maluku Utara Desak Pertanggungjawaban PLN atas Dugaan Kelalaian di Gane Barat Marhaenisme Bung Karno: Masih Relevan di Zaman Sekarang? Buku Darmo Gandul: Refleksi Kepemimpinan dan Budaya Jawa dalam Sejarah dan Kearifan Lokal

Opini · 31 Mar 2025 22:24 WIB ·

Peran Soekarno dalam Tradisi Halal Bihalal di Indonesia


					Peran Soekarno dalam Tradisi Halal Bihalal di Indonesia Perbesar

suryokoco suryoputro

Setiap Idulfitri, masyarakat Indonesia memiliki tradisi unik yang dikenal sebagai Halal Bihalal. Tradisi ini bukan sekadar ajang silaturahmi, tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam sebagai sarana rekonsiliasi sosial dan politik. Tidak banyak yang tahu bahwa tradisi Halal Bihalal di Indonesia memiliki keterkaitan erat dengan peran Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Bagaimana peran Soekarno dalam mengembangkan tradisi ini, dan bagaimana sejarahnya terbentuk? Mari kita telusuri lebih dalam.

Asal-usul Tradisi Halal Bihalal

Istilah “Halal Bihalal” sendiri berasal dari bahasa Arab, meskipun frasa ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab klasik Islam. Kata “halal” memiliki arti sah atau diperbolehkan, sedangkan “bihalal” sering diartikan sebagai tindakan saling menghalalkan atau memaafkan. Tradisi ini berkembang di Indonesia sebagai bentuk silaturahmi usai menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Sejarah mencatat bahwa pada era pasca-kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai konflik politik dan sosial. Pertikaian antar kelompok serta ketegangan ideologis sering kali memecah belah bangsa. Dalam situasi seperti inilah, Halal Bihalal muncul sebagai solusi untuk merajut kembali persatuan nasional.

Soekarno dan Inisiasi Halal Bihalal

Peran Soekarno dalam pengembangan Halal Bihalal bermula dari kondisi politik Indonesia yang penuh ketegangan pada akhir dekade 1940-an. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa ini mengalami berbagai pergolakan politik, baik di dalam pemerintahan maupun di kalangan masyarakat. Di tengah kondisi tersebut, Soekarno mencari cara untuk menyatukan kembali elemen-elemen bangsa yang terpecah.

Baca Juga :  Melihat Indonesia dari Kejauhan

Menurut berbagai sumber, gagasan Halal Bihalal sebagai tradisi nasional muncul setelah seorang ulama asal Yogyakarta, KH Abdul Wahab Chasbullah, menyarankan kepada Soekarno agar mengadakan forum silaturahmi dengan para elit politik dan tokoh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meredakan ketegangan politik serta memperkuat persatuan bangsa.

KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang ulama kharismatik yang juga merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), mengusulkan agar momentum Idulfitri dimanfaatkan sebagai ajang rekonsiliasi. Dalam pertemuan dengan Soekarno, ia menyampaikan bahwa “Halal Bihalal” bisa menjadi wadah bagi para pemimpin bangsa untuk saling memaafkan, menanggalkan ego politik, dan kembali bersatu demi kepentingan nasional.

Soekarno, yang dikenal sebagai pemimpin yang visioner, segera merespons gagasan ini dengan mengadakan pertemuan bersama para tokoh nasional dalam suasana Idulfitri. Dalam pertemuan ini, para pemimpin negara tidak hanya bermaaf-maafan, tetapi juga membahas berbagai persoalan bangsa dalam suasana yang lebih cair dan penuh keakraban. Sejak saat itu, Halal Bihalal mulai menjadi tradisi tahunan di kalangan pejabat negara dan perlahan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Halal Bihalal sebagai Alat Rekonsiliasi Politik

Pada masa pemerintahan Soekarno, perpecahan politik antara berbagai kelompok sangat nyata. Dari konflik internal dalam parlemen hingga ketegangan antara kelompok nasionalis, Islamis, dan komunis, semua mencerminkan betapa rapuhnya persatuan saat itu. Dalam situasi seperti ini, Halal Bihalal berfungsi sebagai sarana komunikasi yang efektif untuk meredakan ketegangan.

Tradisi Halal Bihalal tidak hanya sebatas ajang formalitas, tetapi juga menjadi strategi politik yang cerdas. Dalam berbagai kesempatan, Soekarno menggunakan Halal Bihalal sebagai momentum untuk menyampaikan pesan-pesan persatuan kepada para pemimpin politik dan tokoh masyarakat. Dengan adanya momen ini, rivalitas politik yang tajam bisa sedikit mereda dan membuka ruang untuk dialog yang lebih konstruktif.

Baca Juga :  Menapak Jejak Soekarno, Menyongsong Gagasan Prabowo: Harapan Baru untuk Indonesia

Selain itu, Halal Bihalal juga menjadi ajang untuk mengokohkan identitas nasional. Dalam setiap pertemuan Halal Bihalal, Soekarno selalu menekankan pentingnya gotong royong, persaudaraan, dan nilai-nilai kebangsaan. Hal ini sejalan dengan konsep “Nasakom” (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) yang ia usung sebagai upaya untuk menyatukan elemen-elemen berbeda dalam masyarakat Indonesia.

Penyebaran Tradisi ke Seluruh Masyarakat

Apa yang awalnya merupakan forum eksklusif di kalangan elit politik perlahan menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Halal Bihalal kemudian menjadi tradisi yang tidak hanya dilakukan oleh pejabat negara, tetapi juga oleh komunitas, organisasi, perusahaan, dan keluarga besar di seluruh Indonesia.

Di lingkungan masyarakat, Halal Bihalal berkembang menjadi acara silaturahmi yang mengandung nilai-nilai budaya Indonesia. Masyarakat dari berbagai latar belakang berkumpul, saling bermaafan, dan mempererat tali persaudaraan. Acara ini juga sering kali diisi dengan ceramah keagamaan, hiburan, serta makan bersama sebagai simbol kebersamaan.

Selain itu, di dunia kerja, Halal Bihalal menjadi sarana untuk mempererat hubungan antara pimpinan dan karyawan. Banyak perusahaan dan instansi pemerintahan yang mengadakan acara Halal Bihalal sebagai bagian dari budaya organisasi. Ini menunjukkan bagaimana tradisi yang awalnya lahir dari kebutuhan politik kemudian berkembang menjadi bagian dari kehidupan sosial yang lebih luas.

Baca Juga :  Refleksi Pemikiran Bung Karno di Era Kapitalisme Menikah Tanpa Beban

Halal Bihalal di Era Modern

Seiring perkembangan zaman, Halal Bihalal terus mengalami adaptasi. Jika dulu pertemuan dilakukan secara tatap muka, kini dengan kemajuan teknologi, Halal Bihalal juga dapat dilakukan secara virtual. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada tahun 2020 mendorong masyarakat untuk menggelar Halal Bihalal secara daring melalui platform digital seperti Zoom, Google Meet, dan media sosial lainnya.

Meski formatnya berubah, esensi Halal Bihalal tetap sama, yaitu mempererat hubungan sosial dan membangun rekonsiliasi. Di era modern ini, Halal Bihalal juga semakin inklusif, tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga diikuti oleh masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan budaya.

Halal Bihahal tradidi Politik ?

Halal Bihalal bukan sekadar tradisi tahunan dalam perayaan Idulfitri, tetapi juga memiliki akar sejarah yang kuat dalam perjalanan bangsa Indonesia. Peran Soekarno dalam mempopulerkan dan menginstitusionalisasi Halal Bihalal sebagai alat rekonsiliasi politik menunjukkan betapa tradisi ini memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar ajang bermaafan.

Dari upaya menyatukan elit politik di era awal kemerdekaan hingga menjadi tradisi yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat, Halal Bihalal terus berkembang dan menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia. Dengan semangat yang sama, tradisi ini dapat terus dijaga sebagai sarana untuk memperkuat persatuan dan kebersamaan di tengah keberagaman bangsa.

Artikel ini telah dibaca 187 kali

Baca Lainnya

Menjemput Trisakti di Persimpangan Zaman: Risalah Reflektif dari Pertemuan Komantikor

22 Mei 2025 - 10:46 WIB

Hak Rakyat Dalam Daerah Istimewa

16 Mei 2025 - 13:25 WIB

MERDEKA MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM SENDIRI

10 Mei 2025 - 18:55 WIB

Wawancara Imajiner dengan Bung Karno: Mengenang Murdaya Widyawimarta Po, Pejuang Kewarganegaraan

13 April 2025 - 13:59 WIB

Indonesia dalam Politik Global: Tantangan dan Arah Kebijakan ke Depan

3 April 2025 - 21:46 WIB

Menapak Jejak Soekarno, Menyongsong Gagasan Prabowo: Harapan Baru untuk Indonesia

3 April 2025 - 17:18 WIB