Suryokoco Suryoputro
Di tengah gemerlap dan hiruk pikuk kehidupan modern yang seringkali materialistis, gagasan tentang pernikahan yang sederhana namun bermakna menjadi semakin relevan. Pemikiran Ir. Soekarno, sang proklamator kemerdekaan, tentang pernikahan di era kapitalisme memberikan perspektif yang menarik dan patut untuk direnungkan, terutama bagi generasi muda yang seringkali merasa terbebani oleh ekspektasi sosial dan biaya pernikahan yang tinggi.
Kapitalisme dan Sulitnya Pernikahan: Perspektif Bung Karno
Sejak awal kemerdekaan, Bung Karno telah menyoroti bagaimana sistem kapitalisme dapat mempersulit institusi pernikahan, terutama bagi kaum muda. Dalam risalahnya yang terkenal, “Sarinah” (1947), ia dengan lugas menyatakan bahwa masyarakat kapitalis zaman sekarang adalah masyarakat yang membuat pernikahan menjadi hal yang sukar, bahkan sering kali mustahil. Baginya, perjuangan hidup di era kapitalisme begitu berat, sehingga banyak pemuda yang kekurangan nafkah menjadi ragu atau kesulitan untuk menikah.
Soekarno melihat bahwa pernikahan seharusnya menjadi hak bagi setiap orang yang menginginkannya, bukan hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial mapan. Ia prihatin melihat banyak pemuda terpaksa menunda pernikahan hingga usia 30 atau 40 tahun karena terhimpit masalah ekonomi. Lebih jauh, ia mengkhawatirkan dampak sosial dan moral dari kondisi ini, di mana pemuda yang tidak mampu menikah di usia muda berpotensi terjerumus pada perilaku yang tidak sesuai dengan norma.
Fokus pada Esensi, Bukan Seremonial Mewah
Meskipun tidak secara eksplisit membahas tentang pesta pernikahan yang mewah, kita dapat menarik kesimpulan dari pemikiran Soekarno bahwa fokus utama dalam pernikahan seharusnya terletak pada esensi ikatan itu sendiri, yaitu cinta, komitmen, dan membangun keluarga yang harmonis. Mengingat kritiknya terhadap kapitalisme yang memberatkan biaya hidup, sangat mungkin Soekarno akan mendukung gagasan pernikahan yang tidak terbebani oleh biaya pesta dan seremonial yang berlebihan.
Bung Karno adalah sosok yang menghargai nilai-nilai kemandirian (“Berdikari”) dan keadilan sosial. Ia tentu akan mendorong pemuda untuk memiliki kemandirian finansial agar dapat menikah tanpa harus terjerat dalam hutang akibat biaya pesta yang mahal. Baginya, esensi pernikahan terletak pada kesepakatan dua insan untuk membangun kehidupan bersama, bukan pada kemegahan perayaan yang bersifat sementara.
Soekarno juga dikenal sebagai tokoh yang menentang adat kolot yang tidak sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam konteks pernikahan, ini bisa diartikan sebagai ajakan untuk tidak terpaku pada tradisi yang memberatkan secara finansial, seperti uang hantaran yang terlalu tinggi atau keharusan mengadakan pesta yang mewah di luar kemampuan. Ia akan lebih menekankan pada nilai-nilai luhur pernikahan itu sendiri, seperti kesetaraan antara suami dan istri , saling menghormati, dan membangun rumah tangga yang didasari oleh cinta dan kasih sayang.
Pemuda dan Tanggung Jawab Masa Depan Bangsa
Soekarno menaruh harapan besar pada pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Ia menginginkan pemuda yang berjuang untuk kemajuan bangsa, bukan hanya terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan seremonial yang tidak esensial. Keputusan untuk menikah tanpa terbebani biaya pesta yang mahal adalah wujud kemandirian dan tanggung jawab pemuda dalam membangun masa depan yang lebih baik, baik bagi diri sendiri maupun bagi bangsa.
Belajar dari “Sarinah”: Pernikahan yang Diidamkan
Dalam “Sarinah,” Soekarno membayangkan sebuah masyarakat ideal di mana setiap laki-laki dapat memiliki istri dan setiap perempuan dapat memiliki suami. Ia merindukan kondisi di mana pernikahan dipermudah, bukan dipersulit oleh sistem ekonomi yang tidak adil. Impian ini tentu sejalan dengan gagasan pernikahan yang fokus pada kesederhanaan dan kebersamaan, tanpa harus terbebani oleh biaya-biaya yang tidak pokok.
Relevansi Pemikiran Soekarno di Era Kini
Pemikiran Bung Karno tentang pernikahan di era kapitalisme masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Banyak pemuda yang masih merasa tertekan oleh biaya pernikahan yang terus meningkat. Padahal, esensi dari pernikahan itu sendiri adalah ikatan suci antara dua insan yang saling mencintai dan berkomitmen untuk membangun keluarga yang bahagia.
Menikah tanpa beban biaya pesta dan seremonial yang berlebihan bukanlah sesuatu yang salah. Justru, ini adalah langkah yang bijak dan sesuai dengan semangat kemandirian yang diajarkan oleh Bung Karno. Dana yang seharusnya digunakan untuk pesta mewah dapat dialokasikan untuk kebutuhan rumah tangga di awal pernikahan, pendidikan anak di masa depan, atau bahkan untuk berkontribusi pada masyarakat.
Mari kita renungkan kembali pemikiran Bung Karno. Pernikahan adalah tentang membangun masa depan bersama, bukan tentang kemewahan sesaat. Dengan menghilangkan beban biaya pesta yang tidak perlu, kita dapat lebih fokus pada hal yang lebih penting: membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta berkontribusi positif bagi bangsa dan negara.