Menu

Mode Gelap
Soft Launching Marhaen TV, Sabtu 26 Maret 2022 Mas Tok – Guntur Soekarno : Demokrasi Indonesia itu Demokrasi 50 plus 1 | Bincang Bareng Tokoh 001 GPM Maluku Utara Desak Pertanggungjawaban PLN atas Dugaan Kelalaian di Gane Barat Marhaenisme Bung Karno: Masih Relevan di Zaman Sekarang? Buku Darmo Gandul: Refleksi Kepemimpinan dan Budaya Jawa dalam Sejarah dan Kearifan Lokal

Berita · 29 Jun 2025 20:58 WIB ·

SPMB 2025 di Banten: Ketika Pendidikan Jadi Kantor Pos Wakil Rakyat


					Foto: Khairul Anwar, Masyarakat sipil Banten dan Kader GMNI/MARHAEN.ID. Perbesar

Foto: Khairul Anwar, Masyarakat sipil Banten dan Kader GMNI/MARHAEN.ID.

Ditulis oleh : Khairul Anwar
Masyarakat sipil Banten dan Kader GMNI.

MARHAEN.ID : Di tengah hiruk-pikuk Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (SPMB) 2025 yang menyedot perhatian publik dengan sejuta harapan dan ketegangan, Provinsi Banten justru mempersembahkan satu episode drama yang tak kalah menarik dari sinetron jam tayang utama. Bukan soal nilai rapor yang tak kunjung adil, bukan pula tentang zonasi yang membuat warga mendadak pindah domisili, melainkan tentang secarik memo sakti bertanda tangan seorang pejabat, lengkap dengan kop surat, stempel basah, dan tentu—kekuatan jaringan kekuasaan.

Memo itu datang dari Wakil Ketua DPRD Banten, Budi Prajogo. Sepintas, kalimatnya terdengar manis: “Perihal: Mohon dibantu dan ditindaklanjuti.”

Kalau dibaca tanpa konteks, mungkin dikira bantuan logistik untuk korban bencana. Tapi jangan salah, memo itu bukan menyoal bantuan sosial—melainkan titipan calon siswa untuk masuk ke salah satu SMA negeri favorit di Kota Cilegon.

Baca Juga :  Bulan Bung Karno, Momentum Kembali ke Jalan Ideologi

Bayangkan, anak-anak bersaing lewat nilai, portofolio, dan harapan, sementara di sudut meja kepala sekolah, bersandar memo sakti dari gedung dewan. Ini bukan lagi “pintu belakang”, tapi sudah seperti jalan tol bebas hambatan bagi yang punya akses kekuasaan.

Ketika Kekuasaan Masuk ke Ruang Kelas

Dunia pendidikan tidak seharusnya menjadi ruang bagi intervensi politik. Ketika seorang pejabat publik menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses seleksi siswa di sekolah negeri, maka itu adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan, sekaligus pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan transparansi. Seharusnya, setiap anak bangsa memiliki peluang yang sama untuk mengakses pendidikan berkualitas tanpa harus bersaing dengan “akses istimewa” yang hanya dimiliki oleh segelintir orang dekat kekuasaan.

Jika lembaga legislatif yang seharusnya menjadi pengawas kebijakan publik justru ikut bermain dalam ranah teknis seleksi siswa, maka kita patut bertanya: ini wakil rakyat atau wakil keluarga?

Baca Juga :  Ahmad Yandi Khadafi: Hakim Tak Boleh Jadi Alat Kekuasaan, Wujudkan Asas Keadilan, Bebaskan Hasto!

Pendidikan: Bukan Arena Titipan

Praktik semacam ini bukan hal baru di Banten maupun daerah lain, tetapi semakin vulgar ketika dilakukan secara formal—melalui surat, stempel, dan kartu nama. Ketika seorang pejabat merasa wajar menitipkan anak atau kerabatnya melalui jalur tidak resmi, maka kita sedang menyaksikan kematian moralitas politik dalam dunia pendidikan.

Sungguh ironis, di saat anak-anak diajarkan pentingnya kejujuran dan kompetensi, mereka justru melihat bagaimana “surat sakti” bisa mengalahkan nilai dan perjuangan. Bukankah ini semacam pelajaran kehidupan dari sistem yang gagal: nilai bisa dicapai, tapi relasi lebih utama?

Tapi jangan salah, mungkin ini bagian dari kurikulum tersembunyi.

Kurikulum “Surat Sakti 4.0” — di mana siswa belajar bahwa politik lebih kuat dari matematika, dan relasi lebih penting dari prestasi. Sebuah pendidikan karakter versi negara tropis: licin, hangat, dan penuh jebakan etika.

Baca Juga :  Lantik DPD PA GMNI Sulteng dan Sulbar, Prof Arief Hidayat Ajak Kader Teladani Pendiri Bangsa untuk Jaga Indonesia

Jika pendidikan adalah fondasi peradaban, maka praktik titipan ini adalah rayap yang menggerogoti dari dalam. Jika dibiarkan, bukan hanya sistem pendidikan yang roboh — tapi juga kepercayaan publik terhadap proses, institusi, dan harapan akan keadilan.

Jika pendidikan adalah fondasi utama peradaban, maka praktik titipan ini adalah rayap-rayap kekuasaan yang diam-diam menggerogoti pondasinya. Kita boleh bangga membangun ribuan gedung sekolah, tapi apa gunanya jika kejujuran luluh lantak di dalamnya?

Jika praktik semacam ini dibiarkan, yang runtuh bukan hanya sistem seleksi, tapi juga kepercayaan publik terhadap pendidikan itu sendiri. Dan ketika kepercayaan itu hilang, kita tak lagi bicara tentang kegagalan administratif, tapi tentang kebangkrutan moral sebagai bangsa.

Karena sejatinya, yang membuat suatu bangsa besar bukanlah jumlah sekolah yang dibangun, melainkan kejujuran yang diajarkan dan diteladankan didalamnya. (*)

Artikel ini telah dibaca 20 kali

Baca Lainnya

Gelar PPAB, GMNI Morowali: Kami telah Lahirkan 13 Pejuang Marhaenis yang Siap Mengapdi untuk Rakyat

30 September 2025 - 14:47 WIB

Terpilih dalam Konfercab, Efrem Elman Siarif Ndruru dan Noval Fahrizal Gunawan Resmi Nahkodai DPC GMNI Jaktim Periode 2025-2027

28 September 2025 - 15:04 WIB

Bumikan Marhaenisme di Tanah Sintuwu Maroso, GMNI Poso Gelar PPAB ke 2

20 September 2025 - 13:29 WIB

Reformasi Polri Dimulai dengan Mencopot Sigit sebagai Kapolri

19 September 2025 - 00:04 WIB

Kaderisasi adalah Kekuatan Persatuan dalam Tubuh GMNI

16 September 2025 - 22:53 WIB

Lantik DPD PA GMNI Sulteng dan Sulbar, Prof Arief Hidayat Ajak Kader Teladani Pendiri Bangsa untuk Jaga Indonesia

14 September 2025 - 21:57 WIB