oleh Suryokoco Suryoputro
Hari Raya Idul Fitri, sebuah momen kemenangan dan kebersamaan, selalu dirayakan dengan berbagai tradisi di seluruh Indonesia. Salah satu tradisi yang unik dan sarat makna adalah open house (“Gelar Griya”) di Istana Negara, Jakarta. Tradisi ini bukan muncul begitu saja, melainkan berkembang secara bertahap, mencerminkan dinamika hubungan antara pemimpin negara dan rakyatnya. Mari kita telusuri jejak perkembangan tradisi open house di Istana Negara dari masa ke masa.
Akar Tradisi: Jauh Sebelum Istana Modern
Kebiasaan untuk saling menjamu dan berkumpul saat perayaan hari besar sudah lama menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Nilai-nilai keramahtamahan dan kebersamaan tertanam kuat dalam berbagai adat istiadat di Nusantara. Jauh sebelum Indonesia merdeka, kerajaan-kerajaan dan para pemimpin lokal sering mengadakan pertemuan besar setelah hari raya keagamaan atau peristiwa penting. Di Keraton Surakarta, misalnya, pada masa Mangkunegara I (abad ke-18), dikenal tradisi “pisowanan” dan “sungkeman” setelah Idul Fitri, yang menjadi cikal bakal pertemuan dan saling memaafkan. Tradisi ini menunjukkan bahwa esensi berkumpul dan saling bermaafan setelah hari raya sudah ada jauh sebelum Istana Negara berdiri dalam bentuknya yang sekarang.
Selain itu, ajaran Islam sendiri menekankan pentingnya Idul Fitri sebagai waktu untuk mempererat tali persaudaraan dan saling memaafkan . Kombinasi antara tradisi lokal untuk berkumpul dan merayakan bersama dengan nilai-nilai Islam tentang komunitas dan pengampunan menjadi fondasi kuat bagi tradisi open house di kemudian hari. Para pemimpin, secara tradisional, menggunakan momen-momen ini untuk memperkuat hubungan dan legitimasi di mata rakyat.
Era Soekarno: Halal bi Halal di Istana
Tonggak penting dalam formalisasi tradisi open house di Istana Negara adalah inisiatif Presiden Soekarno pada tahun 1948. Saat itu, Indonesia baru merdeka dan menghadapi berbagai tantangan politik. KH Abdul Wahab Hasbullah mengusulkan kepada Soekarno untuk mengadakan silaturahmi antar-pemimpin politik guna meredakan ketegangan. Soekarno kemudian menyelenggarakan acara “Halalbihalal” di Istana Negara pada Hari Raya Idul Fitri 1948, mengundang para tokoh politik untuk hadir. Pertemuan ini bertujuan untuk membangun kembali persatuan bangsa. Meskipun awalnya fokus pada elite politik, langkah Soekarno ini menjadi preseden penting yang mengaitkan perayaan pasca-Idul Fitri dengan Istana Negara dan kepemimpinan nasional. Filosofi Soekarno tentang persatuan nasional yang inklusif kemungkinan besar menjadi dasar bagi keterbukaan Istana kepada masyarakat di masa depan.
Era Soeharto: Tradisi Menguat di Kalangan Pejabat
Tradisi open house di kalangan pejabat negara semakin menguat pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Tujuan open house pada masa ini kemungkinan adalah untuk memproyeksikan wibawa pejabat sekaligus menjalin silaturahmi dengan masyarakat. Penguatan tradisi ini sejalan dengan upaya rezim Orde Baru untuk menanamkan citra kepemimpinan yang kuat dan persatuan nasional.
Era Gus Dur: Pintu Istana Terbuka untuk Semua
Perubahan signifikan terjadi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Beliau menjadi presiden pertama yang membuka open house di Istana Merdeka untuk masyarakat umum dari semua kalangan.8 Langkah egaliter ini mencerminkan pendekatan populis Gus Dur dan keinginannya untuk lebih dekat dengan rakyat, menghilangkan batasan protokoler yang ketat.
Era Selanjutnya: Kontinuitas dan Variasi
Presiden Megawati Soekarnoputri melanjutkan tradisi open house di Istana Negara. Begitu pula dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mengadakan open house baik di Istana maupun di kediaman pribadinya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki pendekatan yang bervariasi, terkadang merayakan Idul Fitri di luar Jakarta, namun tetap mengadakan open house di Istana Negara pada beberapa kesempatan, seperti tahun 2017, 2019, dan 2024. Pada tahun 2019, antusiasme masyarakat sangat tinggi karena open house bertepatan dengan pengumuman hasil pemilu.
Terakhir, Presiden Prabowo Subianto untuk pertama kalinya mengadakan open house di Istana Kepresidenan Jakarta pada Idul Fitri 1446 Hijriah (2025). Acara ini disambut antusias oleh masyarakat yang mengantre sejak pagi. Selain pejabat dan tokoh nasional, masyarakat umum juga diundang tanpa perlu mendaftar.14 Istana menyediakan hidangan khas Lebaran dan bingkisan bagi para tamu.
Open House: Manifestasi Halal bi Halal di Tingkat Nasional
Tradisi open house di Istana Negara adalah representasi simbolis dari Halal bi Halal dalam skala nasional. Prinsip saling memaafkan, rekonsiliasi, dan mempererat persaudaraan tercermin dalam acara ini. Presiden, sebagai tuan rumah, berinteraksi dengan warga negara setelah bulan Ramadan. Salaman dan hidangan yang disajikan melambangkan permintaan maaf dan kebersamaan.
Makna dan Tujuan di Era Modern
Di era modern, open house di Istana Negara memiliki signifikansi yang mendalam. Tradisi ini menumbuhkan rasa keterhubungan antara pemerintah dan rakyat. Masyarakat memiliki kesempatan untuk mengunjungi bangunan bersejarah dan berinteraksi dengan pemimpin mereka. Tradisi ini juga mempromosikan persatuan nasional dan rasa identitas bersama di negara yang beragam seperti Indonesia. Open house menjadi simbol semangat Idul Fitri, yaitu kebersamaan, pengampunan, dan awal yang baru.
Tradisi yang Terus Berkembang
Tradisi open house di Istana Negara saat Idul Fitri adalah cerminan dari perjalanan panjang bangsa Indonesia. Berawal dari tradisi lokal dan nilai-nilai Islam, tradisi ini kemudian diformalkan di tingkat negara oleh Presiden Soekarno melalui Halal bi Halal. Sejak saat itu, tradisi ini terus berkembang di bawah kepemimpinan berbagai presiden, mencapai puncaknya dalam keterbukaan untuk masyarakat umum pada era Presiden Gus Dur. Hingga kini, open house di Istana Negara tetap menjadi simbol penting dari persatuan nasional, rekonsiliasi, dan hubungan yang dinamis antara pemerintah dan rakyat Indonesia.