Menu

Mode Gelap
Soft Launching Marhaen TV, Sabtu 26 Maret 2022 Mas Tok – Guntur Soekarno : Demokrasi Indonesia itu Demokrasi 50 plus 1 | Bincang Bareng Tokoh 001 GPM Maluku Utara Desak Pertanggungjawaban PLN atas Dugaan Kelalaian di Gane Barat Marhaenisme Bung Karno: Masih Relevan di Zaman Sekarang? Buku Darmo Gandul: Refleksi Kepemimpinan dan Budaya Jawa dalam Sejarah dan Kearifan Lokal

Opini · 13 Apr 2025 13:59 WIB ·

Wawancara Imajiner dengan Bung Karno: Mengenang Murdaya Widyawimarta Po, Pejuang Kewarganegaraan


					Wawancara Imajiner dengan Bung Karno: Mengenang Murdaya Widyawimarta Po, Pejuang Kewarganegaraan Perbesar

Oleh: Jandi Mukianto

Ada sebuah ruang imajiner berbalut merah-putih, tersusun rapi kursi rotan dan meja kayu jati. Di ujung ruangan duduk Bung Karno, mengenakan peci hitam dan jas putih kebesarannya. Melihat Bung Karno sedang santai saya berjalan cepat membawa kabar dari bumi Indonesia di tahun 2025.

Saya: Bung, saya membawa kabar dari tanah air. Seorang tokoh bangsa, Murdaya Widyawimarta Po, telah berpulang. Bung mengenal nama itu?

Bung Karno: [Menatap jauh ke dinding dengan lukisan rakyat memegang bendera] Ah, Po. Murdaya Po. Saya dengar kabarnya. Ia bukan sekadar pengusaha, tapi seorang pejuang hak-hak sipil. Jiwa nasionalismenya membara seperti obor yang tak padam, meski hidupnya banyak di dunia bisnis. Aktivis juga, ya?

Saya: Betul, Bung. Ia dulu aktif di GMNI ketika kuliah. Semangat Marhaenisme masih menyala dalam dirinya, bahkan ketika ia sudah duduk sebagai anggota DPR dari PDI Perjuangan. Tapi yang tidak diketahui banyak orang, Pak Po adalah tokoh di balik lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Baca Juga :  Negara Hukum Pancasila: Antara Ideal dan Realita

Bung Karno: [Tersenyum bangga] Itu dia! Itulah yang membuat saya kagum. Ia memutar roda sejarah. Dahulu, rakyat keturunan Tionghoa dipaksa membuat SBKRI—Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Seolah-olah mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah anak kandung Ibu Pertiwi. Padahal, Bung, siapa pun yang lahir di bumi pertiwi ini, yang mengabdi, yang mencintai tanah dan airnya, adalah bagian dari Indonesia. Titik.

Saya: Dan Pak Po tahu itu, Bung. Ia memperjuangkan agar semua anak bangsa, tak peduli warna kulit, marga, atau aksen lidahnya, diakui sebagai warga negara sepenuhnya. Tanpa perlu dibebani administrasi yang diskriminatif.

Bung Karno: Itu keberanian. Ingat, dalam Pancasila—yang pertama itu loh, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan selanjutnya ada Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Diskriminasi ras dan etnis itu bertentangan dengan sila kedua! Murdaya telah menegakkan Pancasila itu dengan perbuatan, bukan hanya kata-kata.

Saya: Ada yang menyebut Pak Po sebagai “penjembatan generasi pascareformasi dengan warisan nasionalisme orisinal Bung Karno”. Ia orang bisnis, tapi tak larut dalam kapitalisme yang dingin. Ia tetap bersikap hangat kepada rakyat.

Baca Juga :  Kaum Marhaenis, Saatnya Bergerak! Memuliakan Desa, Membangun Indonesia dari Akar

Bung Karno: Nasionalisme bukan hanya soal memegang bendera dan berpidato lantang. Itu soal merangkul semua warga bangsa, termasuk mereka yang minoritas, yang selama ini dipinggirkan. Murdaya telah membuktikan, bahwa nasionalisme bisa diwujudkan lewat kebijakan yang memanusiakan manusia.

Saya: Bung, banyak yang terinspirasi dari kiprah Pak Po. Anak-anak muda keturunan Tionghoa kini merasa lebih percaya diri menyebut diri sebagai orang Indonesia. Mereka tidak lagi merasa asing di negeri sendiri.

Bung Karno: [Mendekap tangan ke dada] Itu dia yang saya impikan dari dulu. Indonesia yang bersatu bukan dalam seragam, tapi dalam keberagaman. Kalau ada satu Murdaya Po, semoga akan lahir seribu Murdaya lainnya. Anak-anak muda yang paham bahwa Indonesia bukan milik satu golongan, satu suku, atau satu agama. Tapi milik semua yang mau mencintai dan membangunnya.

Saya: Ada yang bilang, perjuangan Pak Po itu sunyi. Ia tak banyak bicara di media, tapi tekun bekerja di balik layar. Bung setuju?

Baca Juga :  Arief Hidayat: Ketua Umum Alumni GMNI dan Kiprahnya di Mahkamah Konstitusi

Bung Karno: Kadang, pejuang sejati memang tak suka sorotan lampu. Mereka bekerja dalam diam, tapi dampaknya terasa jauh ke masa depan. Yang penting bukan namanya disebut, tapi apa yang diperjuangkannya hidup terus. Murdaya menghapus satu bentuk ketidakadilan yang menghantui saudara-saudara kita selama puluhan tahun. Itu sejarah!

Saya: Kini beliau telah tiada. Apa pesan Bung untuk bangsa ini agar perjuangan seperti Murdaya tidak berhenti di tengah jalan?

Bung Karno: Rawat keadilan itu. Jangan biarkan diskriminasi kembali bangkit, walau dalam bentuk yang lebih halus. Dan yang muda-muda, jangan hanya sibuk bikin konten. Bangunlah negeri ini, seperti Murdaya membangunnya—dengan keberanian, dengan empati, dan dengan cinta tanah air yang tak pernah habis.

Saya: Terima kasih, Bung. Seperti biasa, kata-kata Bung selalu membakar semangat.

Bung Karno: Sampaikan salam saya pada bangsa Indonesia. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, dan jangan sekali-kali berhenti menciptakan masa depan yang lebih adil.

Selesai berbicara itu, seketika saya terbangun di atas sofa Woodlands Memorial Singapore

Artikel ini telah dibaca 167 kali

Avatar photo badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Menjemput Trisakti di Persimpangan Zaman: Risalah Reflektif dari Pertemuan Komantikor

22 Mei 2025 - 10:46 WIB

Hak Rakyat Dalam Daerah Istimewa

16 Mei 2025 - 13:25 WIB

MERDEKA MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM SENDIRI

10 Mei 2025 - 18:55 WIB

Indonesia dalam Politik Global: Tantangan dan Arah Kebijakan ke Depan

3 April 2025 - 21:46 WIB

Menapak Jejak Soekarno, Menyongsong Gagasan Prabowo: Harapan Baru untuk Indonesia

3 April 2025 - 17:18 WIB

Membaca Pemikiran Prabowo dalam buku Kembalikan Indonesia Haluan Baru Keluar dari Kemelut Bangsa

3 April 2025 - 17:08 WIB